Senin, 02 Desember 2013

Makalah Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia

Pengarusutamaan Gender (PUG) Di Indonesia
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender Dalam Agama-Agama
 Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh 
Oleh:
Muhammad Bindaniji
Munazaturrukhamah
Wahyu Handriyanto

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR-HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA JAKARTA
2013 
Pendahuluan
Ketimpangan peran sosial berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama (QS, al-Nisâ’: 34)[1]. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan kaum laki-laki. Tidak mustahil di balik “kesadaran” teologis ini manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.

Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial-budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat  (Social Constructions) bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.[2]
Isu-isu tentang penyetaraan gender memang selalu menjadi distorsi (perdebatan) di kalangan akademisi dan non-akademisi dari zaman ke zaman. Permasalahan ini akan terus diangkat sepanjang kaum perempuan benar-benar merasakan hak-haknya dan tidak ada bias gender.[3] Masih terbayang di benak kita pada sebuah statement yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk ke dua, artinya adalah ada signifikansi antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagaimana laki-laki. Hal ini berimplikasi pada sikap merendahkan perempuan yang dianggap sebagai makhluk nomor dua yang tidak boleh berpolitik dan tidak boleh menyuarakan hak-haknya. Seperti di dalam istilah klasik menyebutkan tugas perempuan tidak boleh lebih dari sekedar di dapur, sumur, dan kasur. Dominasi peran laki-laki dalam sektor publik, sementara peran perempuan terbatas dalam sektor domestik adalah konstruksi sosial dan dengan demikian harus direkonstruksi menegakkan keadilan gender.[4]
Maka tak ayal, kita akan melihat sedikit—kalau tidak mau dikatakan tidak ada—peran perempuan pada wilayah publik, misalnya menjadi politikus, DPR, Mentri, bahkan seorang Presiden, sebaliknya kita akan banyak melihat perempuan  di wilayah domestik seperti yang telah dijelaskan di atas. Tentunya fenomena seperti ini harus cepat dicarikan solusi, karena fenomena seperti ini hanya akan melanggengkan perspektif patriarki yang akan berimplikasi pada semakin termarjinalkannya sosok perempuan.
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan inilah yang kemudian membawa pada permasalahan yang menghambat pembangunan nasional, di mana peran perempuan dirasa ‘kurang’ dibandingkan dengan peran yang dimainkan oleh laki-laki sebagai penguasa dalam berbagai aspek kehidupan di mana peran perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan nasional sama sekali.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 mengusung tentang pentingnya pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Instruksi ini adalah bentuk usaha preventif supaya tercipta balance antara laki-laki dan perempuan dalam upaya percepatan pembangunan nasional. Dengan strategi ini diharapkan akan terjadi percepatan peningkatan partisipasi dan kedudukan perempuan karena setiap tahap proses pembangunan dilakukan dengan cara pandang (perspektif) gender dengan disertai adanya kesadaran bahwa ada perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan antara perempuan dan laki-laki di semua sektor pembangunan dan di pelbagai dimensi kehidupan.[5]
Pengarusutamaan adalah upaya atau strategi yang harus dilakukan untuk memberi peluang kepada seluruh komponen agar dapat berperan secara optimal dalam pembangunan. Pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional dipandang perlu untuk meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara.[6]

 Pengertian, tujuan, dan sasaran PUG
Pengarusutamaan gender adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha percepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya.[7] Atau dalam arti lain pengarusutamaan gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.[8]
Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[9]
Tujuan pengarusutamaan gender adalah menarik perempuan kedalam arus utama pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warganegara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Tujuan pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional.
Pengarusutamaan gender berfungsi untuk menciptakan mekanisme-mekanisme kelembagaan bagi kemajuan perempuan di semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.[10]

Konsep Pengarusutamaan Gender
Di Indonesia sendiri pada bulan Desember 2000 diterbitkan instruksi presiden No.9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender. Presiden memberikan instruksi kepada Mentri, Kepala Lembaga Pemerintahan Non-Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan memertimbangkan permasalahan kebutuhan aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program dan kegiatan. Strategi tersebut dapat dilaksanakann melalui sebuah proses yang memasukkan analisia gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan dan laki-laki ke dalam proses pembangunan.
Namun demikian, sejak diberlakukannya instruksi presiden tersebut, implementasi PUG belum berjalan optimal sesuai dengan yang diamanatkan di dalam inpres tersebut. Dalam upaya pengoptimalan pelaksanaan stretegi tersebut, pemerintah mencantumkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yaitu menjadi salah satu arah pembangunan di dalam misi 2 untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, adalah pemberdayaan perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan perlindungan anak, penurunan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi serta penguatan kelembagaan dan jaringan PUG.[11]

PUG dalam Perencanaan Pembangunan
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan terfokus pada peningkatan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini dibangun atas asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya  kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam masyarakat termasuk dalam pembangunan.[12] Berangkat dari asumsi di atas, bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakann bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.

Lembaga pemerintahan yang dibebani dan diberikan amanah sekaliguus representatif dalam hal ini adalah kementrian pemberdayaan perempuan. Oleh karena penguatan lembaga ini adalah suatu keniscayaan. Penguatan kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (KPPPA), merupakan respon yang konkrit dalam mewujudkan PUG ini, di mana institusi ini menetapkan visi dan misinya, dan menyusun pengertian, isu dan masalah serta perencanaan terkait gender dan penganggaran responsif gender, dan telah disosialisasikan ke K/L dan pemerintah daerah dalam bentuk seminar dan forum diskusi, agar stategi PUG semakin dapat dipahami dan semakin mendapat perhatian, agar semua pihak dapat lebih berpartisipasi dalam implementasinya. Pendokumentasian pelaksanaan perencanaan dan pengangaran responsif.
PUG dalam Pendidikan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengarusutamaan gender di bidang pendidikan di antaranya: kurikulum, evaluasi, pengajar dan kelas, serta peran pimpinan.[13]
Elliot, menyatakan bahwa kurikulum sesungguhnya menggambarkan dan mencerminkan sikap dan pandangan yang ada di kelas, lembaga pendidikan, masyarakat dan bahkan negara mengenai isu-isu tertentu. Memang apabila dilihat secara sepintas, kurikulum tampak hanya sebagai daftar mata kuliah, namun apabila dicermati sampai ke silabinya, maka akan ditemukan beberapa asumsi yang sangat penting dan salah satunya adalah pandangan tentang budaya, kelas sosial, dan gender.
Kurikulum pada dasarnya merupakan wadah dan sarana untuk memuat dan mengembangkan visi dan misi yang dimiliki sebuah lembaga pendidikan supaya visi dan misi tersebut dapat diimplementasi dengan baik. Dengan kata lain kurikulum menggambarkan dan menerjemahkan visi dan misi yang dimiliki. Kemudian kurikulum akan dijabarkan dalam komponen-komponennya yang terdiri dari tujuan pembelajaran, materi dan topik perkuliahan, bahan bacaan atau referensi yang dipakai, strategi pembelajaran, media atau sarana dan prasarana yang digunakan, dan evaluasi. Lembaga pendidikan yang memperjuangkan kesetaraan gender, dengan demikian, akan mencantumkan upaya kesetaraan gender ini sebagai bagian dari visi dan misinya, yang kemudian akan terimplementasi melalui kurikulum beserta komponen-komponennya.[14] Kurikulum yang sensitif gender seharusnya secara eksplisit berkaitan dengan permasalah-permasalahan gender. Dengan kata lain kurikulum sensitif gender tersebut bersifat overt curriculum sehingga tergambar mulai dari tujuan pembelajaran, materi dan topik-topik perkuliahan, bahan bacaan, strategi pembelajaran dan evaluasi, di samping juga hidden curriculum yang disampaikan oleh pengajar di kelas dalam menggunakan strategi pembelajaran dan media yang dipakai, termasuk bahasa komunikasi yang ia gunakan.[15]
Hambatan-hambatan di Indonesia
Zaitunah Subhan mencatat ada beberapa faktor yang menjadi kendala atau penghambat dalam peningkatan peran perempuan, baik secara internal maupun eksternal, di antaranya:[16]
Pertama, penilaian sebagian masyarakat kita terhadap kaum perempuan yang masih dianggap sebagai makhluk lemah, tergantung, sehingga perlu dilindungi dan tidak boleh menjadi pemimpin. Ini terjadi di berbagai tempat di mana kaum perempuan bekerja, di kantor misalnya, bahkan di rumah tangga dan kemudian menyebar dalam dunia politik. Semua itu mengesankan kecilnya peranan wanita dalam perencanaan dan pelaksanaan pengambilan keputusan.
Kedua, kaum perempuan tidak berorientasi pada dirinya, pada kepentingan perempuan dan pada peranan perempuan, tetapi berorientasi pada peranan yang diinginkan laki-laki. Jadi permasalahan pokok pada diri perempuan sendiri adalah sikap rela atau patuh terhadap segala sesuatu yang meremehkan dan mengecilkan peranannya, serta merasa puas dengan perlakuan yang memanjakannya. Inilah pada hakikatnya yang mengikis hasrat berprestasi diri kaum perempuan, sehingga akhirnya melemparkan dirinya hanya sebagai peranan pelengkap atau objek.
Ketiga, seringnya media massa menampilkan perempuan sebagai objek seks, paling tidak dengan tujuan menawarkan daya tarik, sehingga tubuh perempuan dijadikan komoditi yang serupa dengan benda-benda layak jual. Bahkan seringkali atas nama estetika, tubuh perempuan dieksploitasi seakan tanpa ruh (tidak mempunyai pikiran dan perasaan), serta menjadikan penampilannya sebagai ‘penggoda’.
Keempat, peran kaum perempuan (dalam rumah tangga) seringkali diidentikan dengan kodrat perempuan, sehingga pekerjaan domestik (seperti merawat, mengasuh, dan mendidik) dianggap sebagai kodrat yang tidak boleh diganggu gugat karena telah menjadi ketentuan Tuhan.
Yurni Satria mencatat berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan PUG sebagai berikut:[17]
Pertama, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain:
ü  kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya
ü  rendahnya indeks pemberdayaan gender dan indeks pembangunan gender
kedua, meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai kekerasan, antara lain:
ü  masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan
ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, antara lain:
ü  Belum optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan,
ü  Belum memadainya kapasitas kelembagaan pelaksanaan PUG serta koordinasi pelaksanaannya

DAFTAR PUSTAKA
Nasaruddin Umar,Perspektif Gender Dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. Vol. 1 no. 2, edisi Juli-Desember,
Sukidi. 2001. “Teologi Inklusif ak Nur.”Jakarta: Kompas  
Irwan Masduqi, dkk, Kontekstualisasi Turats, Telaah Regresif dan Progresif,  Jogjajakta: Pustaka De-Aly, 2009
Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi: Pemikiran Tentang Keserasian Jender (Jakarta: LP3ES, 2006
Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill, 2004
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender (Jakarta: Obor, 2004), 200
Yurni Satria, Mengenali dan Memahami Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan, Makalah: tidak diterbitkan




[1].... الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
[2] Nasaruddin Umar,Perspektif Gender Dalam Islam, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. Vol. 1 no. 2, edisi Juli-Desember, h. 97
[3] Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, h.152
[4] Irwan Masduqi, dkk, Kontekstualisasi Turats, Telaah Regresif dan Progresif,  h.100
[5] Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi: Pemikiran Tentang Keserasian Jender (Jakarta: LP3ES, 2006), h.33
[6] Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender, h.196
[7] Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill, 2004), h.24-25
[8] Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender (Jakarta: Obor, 2004), 200
[9] Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender, h.201
[10] Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender, h.x
[11] Dikutip dari makalah berjudul Gender Dari Definisi Hingga Implementasi
[12] Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, h.25
[13] Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, h.31
[14] Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, h.32
[15] Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, h.34
[16] Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, h.114-115
[17] Yurni Satria, Mengenali dan Memahami Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan, Makalah: tidak diterbitkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar