Pengarusutamaan Gender (PUG) Di Indonesia
Makalah
ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender Dalam Agama-Agama
Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh
Oleh:
Muhammad Bindaniji
Munazaturrukhamah
Wahyu Handriyanto
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
TAFSIR-HADIS
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA JAKARTA
2013
Pendahuluan
Ketimpangan
peran sosial berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin
agama (QS, al-Nisâ’: 34)[1]. Agama
dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap
dirinya sejajar dengan kaum laki-laki. Tidak mustahil di balik “kesadaran”
teologis ini manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur
patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.
Gender
adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial-budaya. Gender dalam arti ini adalah
suatu bentuk rekayasa masyarakat (Social
Constructions) bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.[2]
Isu-isu
tentang penyetaraan gender memang selalu menjadi distorsi (perdebatan) di
kalangan akademisi dan non-akademisi dari zaman ke zaman. Permasalahan ini akan
terus diangkat sepanjang kaum perempuan benar-benar merasakan hak-haknya dan
tidak ada bias gender.[3] Masih
terbayang di benak kita pada sebuah statement yang mengatakan bahwa
perempuan adalah makhluk ke dua, artinya adalah ada signifikansi antara
laki-laki dan perempuan, di mana perempuan tidak memiliki hak sebagaimana
laki-laki. Hal ini berimplikasi pada sikap merendahkan perempuan yang dianggap
sebagai makhluk nomor dua yang tidak boleh berpolitik dan tidak boleh
menyuarakan hak-haknya. Seperti
di dalam istilah klasik menyebutkan tugas perempuan tidak boleh lebih dari
sekedar di dapur, sumur, dan kasur. Dominasi
peran laki-laki dalam sektor
publik, sementara peran perempuan terbatas dalam sektor domestik adalah
konstruksi sosial dan dengan demikian harus
direkonstruksi menegakkan keadilan gender.[4]
Maka tak ayal, kita akan melihat sedikit—kalau tidak mau
dikatakan tidak ada—peran perempuan pada wilayah publik, misalnya menjadi
politikus, DPR, Mentri, bahkan seorang Presiden, sebaliknya kita akan banyak
melihat perempuan di wilayah domestik
seperti yang telah dijelaskan di atas. Tentunya fenomena seperti ini harus
cepat dicarikan solusi, karena fenomena seperti ini hanya akan melanggengkan
perspektif patriarki yang akan berimplikasi pada semakin termarjinalkannya
sosok perempuan.
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai
aspek kehidupan inilah yang kemudian membawa pada permasalahan yang menghambat
pembangunan nasional, di mana peran perempuan dirasa ‘kurang’ dibandingkan
dengan peran yang dimainkan oleh laki-laki sebagai penguasa dalam berbagai
aspek kehidupan di mana peran perempuan tidak dilibatkan dalam pembangunan
nasional sama sekali.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui Instruksi Presiden
No.9 Tahun 2000 mengusung tentang pentingnya pengarusutamaan gender dalam
pembangunan nasional. Instruksi ini adalah bentuk usaha preventif supaya
tercipta balance antara laki-laki dan perempuan dalam upaya percepatan
pembangunan nasional. Dengan
strategi ini diharapkan akan terjadi percepatan peningkatan partisipasi dan
kedudukan perempuan karena setiap tahap proses pembangunan dilakukan dengan
cara pandang (perspektif) gender dengan disertai adanya kesadaran bahwa ada
perbedaan kapasitas, potensi, aspirasi, kepentingan dan kebutuhan antara
perempuan dan laki-laki di semua sektor pembangunan dan di pelbagai dimensi
kehidupan.[5]
Pengarusutamaan adalah upaya atau strategi yang harus
dilakukan untuk memberi peluang kepada seluruh komponen agar dapat berperan
secara optimal dalam pembangunan. Pengarusutamaan gender ke dalam seluruh
proses pembangunan nasional dipandang perlu untuk meningkatkan kedudukan,
peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara.[6]
Pengertian,
tujuan, dan sasaran PUG
Pengarusutamaan
gender adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berspektif gender pada
organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif
bagi usaha percepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender
menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur,
dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari
nafas budaya di dalamnya.[7] Atau dalam arti lain pengarusutamaan gender
adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu
dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.[8]
Pengarusutamaan
gender bertujuan terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.[9]
Tujuan pengarusutamaan gender adalah menarik perempuan
kedalam arus utama pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warganegara yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Tujuan pengarusutamaan gender adalah mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender di dalam keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara melalui
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan
dan program pembangunan nasional.
Pengarusutamaan
gender berfungsi untuk menciptakan mekanisme-mekanisme kelembagaan bagi
kemajuan perempuan di semua bidang kegiatan dan kehidupan masyarakat dan
pemerintahan.[10]
Konsep Pengarusutamaan
Gender
Di Indonesia sendiri pada bulan Desember 2000 diterbitkan instruksi presiden No.9 tahun
2000 tentang pengarusutamaan gender. Presiden memberikan instruksi kepada Mentri, Kepala
Lembaga Pemerintahan Non-Departemen,
Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara
Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik
Indonesia, Gubernur, Bupati/Walikota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dengan memertimbangkan permasalahan kebutuhan aspirasi
perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program dan kegiatan. Strategi
tersebut dapat dilaksanakann melalui sebuah proses yang memasukkan analisia
gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan
dan kepentingan perempuan dan laki-laki ke dalam proses pembangunan.
Namun demikian, sejak diberlakukannya instruksi presiden
tersebut, implementasi PUG belum berjalan optimal sesuai dengan yang
diamanatkan di dalam inpres tersebut. Dalam upaya pengoptimalan pelaksanaan
stretegi tersebut, pemerintah mencantumkannya dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, yaitu menjadi salah satu arah pembangunan
di dalam misi 2 untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing, adalah pemberdayaan
perempuan dan anak. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan kualitas hidup
perempuan, kesejahteraan perlindungan anak, penurunan kekerasan, eksploitasi
dan diskriminasi serta penguatan kelembagaan dan jaringan PUG.[11]
PUG dalam Perencanaan
Pembangunan
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan terfokus pada
peningkatan perempuan dalam pembangunan. Strategi ini dibangun atas asumsi bahwa
permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri
yang menyebabkan mereka tidak mampu bersaing dengan kaum laki-laki dalam
masyarakat termasuk dalam pembangunan.[12]
Berangkat dari asumsi di atas, bahwa pengarusutamaan gender ke dalam seluruh
proses pembangunan merupakann bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan
fungsional semua instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah.
Lembaga pemerintahan yang dibebani dan diberikan amanah sekaliguus
representatif dalam hal ini adalah kementrian pemberdayaan perempuan. Oleh
karena penguatan lembaga ini adalah suatu keniscayaan. Penguatan kementerian
pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (KPPPA), merupakan respon yang
konkrit dalam mewujudkan PUG ini, di mana institusi ini menetapkan visi dan
misinya, dan menyusun pengertian, isu dan masalah serta perencanaan terkait
gender dan penganggaran responsif gender, dan telah disosialisasikan ke K/L dan
pemerintah daerah dalam bentuk seminar dan forum diskusi, agar stategi PUG
semakin dapat dipahami dan semakin mendapat perhatian, agar semua pihak dapat
lebih berpartisipasi dalam implementasinya. Pendokumentasian pelaksanaan
perencanaan dan pengangaran responsif.
PUG dalam Pendidikan
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengarusutamaan gender di bidang pendidikan di antaranya: kurikulum, evaluasi,
pengajar dan kelas, serta peran pimpinan.[13]
Elliot, menyatakan bahwa kurikulum sesungguhnya
menggambarkan dan mencerminkan sikap dan pandangan yang ada di kelas, lembaga
pendidikan, masyarakat dan bahkan negara mengenai isu-isu tertentu. Memang
apabila dilihat secara sepintas, kurikulum tampak hanya sebagai daftar mata
kuliah, namun apabila dicermati sampai ke silabinya, maka akan ditemukan
beberapa asumsi yang sangat penting dan salah satunya adalah pandangan tentang
budaya, kelas sosial, dan gender.
Kurikulum pada dasarnya merupakan wadah dan sarana untuk
memuat dan mengembangkan visi dan misi yang dimiliki sebuah lembaga pendidikan
supaya visi dan misi tersebut dapat diimplementasi dengan baik. Dengan kata
lain kurikulum menggambarkan dan menerjemahkan visi dan misi yang dimiliki.
Kemudian kurikulum akan dijabarkan dalam komponen-komponennya yang terdiri dari
tujuan pembelajaran, materi dan topik perkuliahan, bahan bacaan atau referensi
yang dipakai, strategi pembelajaran, media atau sarana dan prasarana yang
digunakan, dan evaluasi. Lembaga pendidikan yang memperjuangkan kesetaraan
gender, dengan demikian, akan mencantumkan upaya kesetaraan gender ini sebagai
bagian dari visi dan misinya, yang kemudian akan terimplementasi melalui
kurikulum beserta komponen-komponennya.[14]
Kurikulum yang sensitif gender seharusnya secara eksplisit berkaitan dengan
permasalah-permasalahan gender. Dengan kata lain kurikulum sensitif gender
tersebut bersifat overt curriculum sehingga tergambar mulai dari tujuan
pembelajaran, materi dan topik-topik perkuliahan, bahan bacaan, strategi
pembelajaran dan evaluasi, di samping juga hidden curriculum yang disampaikan
oleh pengajar di kelas dalam menggunakan strategi pembelajaran dan media yang
dipakai, termasuk bahasa komunikasi yang ia gunakan.[15]
Hambatan-hambatan di
Indonesia
Zaitunah Subhan mencatat ada beberapa faktor yang menjadi
kendala atau penghambat dalam peningkatan peran perempuan, baik secara internal
maupun eksternal, di antaranya:[16]
Pertama, penilaian sebagian masyarakat kita terhadap kaum
perempuan yang masih dianggap sebagai makhluk lemah, tergantung, sehingga perlu
dilindungi dan tidak boleh menjadi pemimpin. Ini terjadi di berbagai tempat di
mana kaum perempuan bekerja, di kantor misalnya, bahkan di rumah tangga dan
kemudian menyebar dalam dunia politik. Semua itu mengesankan kecilnya peranan
wanita dalam perencanaan dan pelaksanaan pengambilan keputusan.
Kedua, kaum perempuan tidak berorientasi pada dirinya,
pada kepentingan perempuan dan pada peranan perempuan, tetapi berorientasi pada
peranan yang diinginkan laki-laki. Jadi permasalahan pokok pada diri perempuan
sendiri adalah sikap rela atau patuh terhadap segala sesuatu yang meremehkan
dan mengecilkan peranannya, serta merasa puas dengan perlakuan yang
memanjakannya. Inilah pada hakikatnya yang mengikis hasrat berprestasi diri
kaum perempuan, sehingga akhirnya melemparkan dirinya hanya sebagai peranan
pelengkap atau objek.
Ketiga, seringnya media massa menampilkan perempuan
sebagai objek seks, paling tidak dengan tujuan menawarkan daya tarik, sehingga
tubuh perempuan dijadikan komoditi yang serupa dengan benda-benda layak jual.
Bahkan seringkali atas nama estetika, tubuh perempuan dieksploitasi seakan
tanpa ruh (tidak mempunyai pikiran dan perasaan), serta menjadikan
penampilannya sebagai ‘penggoda’.
Keempat, peran kaum perempuan (dalam rumah tangga)
seringkali diidentikan dengan kodrat perempuan, sehingga pekerjaan domestik
(seperti merawat, mengasuh, dan mendidik) dianggap sebagai kodrat yang tidak
boleh diganggu gugat karena telah menjadi ketentuan Tuhan.
Yurni Satria mencatat berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan PUG sebagai berikut:[17]
Pertama,
meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain:
ü kesenjangan
gender dalam hal akses, manfaat, partisipasi dalam pembangunan, serta
penguasaan terhadap sumber daya
ü rendahnya
indeks pemberdayaan
gender dan indeks pembangunan
gender
kedua,
meningkatkan perlindungan bagi perempuan
terhadap berbagai kekerasan, antara lain:
ü masih belum
memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan
ketiga,
meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, antara lain:
ü Belum
optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis dan dukungan politik terhadap kesetaraan
gender sebagai prioritas pembangunan,
ü Belum memadainya kapasitas kelembagaan
pelaksanaan PUG serta koordinasi pelaksanaannya
DAFTAR PUSTAKA
Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender Dalam
Islam”, dalam Jurnal
Pemikiran Islam Paramadina.
Vol. 1 no. 2, edisi Juli-Desember,
Sukidi. 2001. “Teologi
Inklusif ak Nur.”Jakarta: Kompas
Irwan Masduqi, dkk, Kontekstualisasi Turats, Telaah Regresif dan Progresif, Jogjajakta:
Pustaka De-Aly, 2009
Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus
Tradisi: Pemikiran Tentang Keserasian Jender (Jakarta: LP3ES, 2006
Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan
Gender di Perguruan Tinggi Islam, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan
McGill, 2004
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan
Instrumen Hukum untuk mewujudkann Keadilan Gender (Jakarta: Obor, 2004),
200
Yurni Satria, Mengenali dan Memahami Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam Pembangunan, Makalah: tidak diterbitkan
[1].... الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ
[2]
Nasaruddin Umar, “Perspektif Gender Dalam Islam”, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina. Vol. 1 no. 2, edisi Juli-Desember, h. 97
[5] Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma Menembus Tradisi: Pemikiran
Tentang Keserasian Jender (Jakarta: LP3ES, 2006), h.33
[6]
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
mewujudkann Keadilan Gender, h.196
[7]
Susilaningsih dan Agus M. Najib (ed), Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi
Islam, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill, 2004), h.24-25
[8]
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
mewujudkann Keadilan Gender (Jakarta: Obor, 2004), 200
[9]
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
mewujudkann Keadilan Gender, h.201
[10]
Pusat Kajian Wanita dan Gender, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum untuk
mewujudkann Keadilan Gender, h.x
[17] Yurni Satria, Mengenali dan Memahami Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan, Makalah: tidak diterbitkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar