Perempuan
Islam dan Gerakan Perjuangan Ketidakadilan Gender Di Masyarakat Modern Mesir
Makalah ini
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Relasi Gender dalam Agama-agama
Dosen Pembimbing :
Siti Nadroh
Oleh :
Nurjaman
(1111032100056)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Pendahuluan
Kairo – Salah satu
potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang
berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat
dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan
tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka
tengah menemukan banyak sekutu baru.
Kondisi
Perempuan dan Gerakan Perjuangan Perempunan di Mesir
Negara-negara
Arab dikenal sebagai negara yang masyarakatnya kental dengan budaya patriarkis.[1]
Budaya patriarkis yang male-centres ini memandang laki-laki lebih berkuasa,
mengakibatkan peran perempuan selalu dibatasi. Sampai saat ini, masih ada beberapa
negara yang masih membatasi peran perempuan diruang publik dunia kerja, bidang
politik dan lain-lain. Namun ada juga beberapa negara yang telah membuka ruang
seluas-luasnya agar perempuan dapat berperan aktif di dalam masyarakat.
Oleh karena itu perempuan diperlakukan sebagai warga negara
kelas dua dan mendapatkan ketidakadilan – mereka menghadapi pelecehan di
jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak
kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan
tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan
bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik,
tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Dengan kejadian
tersebut banyak sekali gerakan perempuan (feminis) untuk menyuarakan atas
ketidakadilan itu. Diantaranya Perhimpunan Feminis Mesir, yang mulanya
didirikan pada 1923 oleh aktivis Hoda Shaarawy, dihidupkan kembali pada Oktober
2011, dan menghimpun lebih dari 1.000 organisasi di bawahnya untuk fokus
mendukung perempuan yang maju dalam pemilu parlemen serta mendorong perempuan
untuk ikut memilih.[2]
Kebebasan bagi
perempuan Mesir saat ini tidak terlepas dari perjuangan yang telah dilakukan
pada dekade kedua abad ke-20. Kaum perempuan kelas atas atau yang biasa disebut
harem menjadi pionir dalam memperjuangkan persamaan hak ketika itu. Padahal
sampai dekade awal abad ke-20, kehidupan mereka masih sangat dibatasi terutama
untuk muncul di ruang publik. Namun berkat keikutsertaan mereka dalam
perjuangan Revolusi Mesir di tahun 1919, pintu gerbang untuk bergerak di ruang
yang lebih luas lagi mulai terbuka. Gerakan mereka di dalam revolusi tersebut
memotivasi untuk terus bergerak menuntut hak-hak yang selama ini dibatasi.[3]
Tokoh-tokoh Pembaharuan di Mesir
Selain
organisasi-organisasi yang menyuarakan atas ketidakadilan gender tersebut, ada
beberapa tokoh juga yang ikut dalam menyuarakan untuk kebebasan (kesetaraan)
perempuan. Diantaranya:
a.
Qosim Amin
Qasim Amin (1 Desember
1863 - 23 April 1908), (salah seorang) tokoh reformis dari Mesir yang
menggelorakan semangat pembebasan perempuan. Meskipun sebelumnya sudah muncul
tokoh-tokoh yang membela hak-hak perempuan seperti Ahmad Faris As-Syidyaq
(1804-1888), Rifa’at at-Thahthawi (1801-1873), dan Muhammad Abduh (w. 1905),
Qasim Amin melejit, antara lain, karena dua bukunya yang ”menghebohkan”, yaitu Tahrîr
al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) yang terbit pertama kali pada 1899 dan al-Mar’ah
al-Jadîdah (Perempuan Baru) yang terbit pada 1900. Kedua buku ini
mengundang pro dan kontra, baik di kalangan ulama Mesir maupun di luar
Mesir.[4]
Terlepas dari
pro-kontra, Qasim Amin, yang sering terlibat diskusi dengan Muhammad Abduh
mengenai kemunduran dunia Islam, menawarkan beberapa model pembebasan perempuan
yang tampaknya masih cukup relevan diwacanakan dan dikembangkan lebih lanjut.[5] Pertama,
ia mengritik keras tradisi ”hijâb” yang berlebihan seperti pemakaian burqa dan
cadar ala perempuan Timur Tengah pada masa itu. Model pakaian itu bukan
merupakan ajaran Islam, tetapi lebih merupakan budaya Arab tradisional yang
mengekang perempuan. Pakaian ”tradisional” tersebut merupakan simbol kejumudan
(status quo), sekaligus menjadi penghambat kebebasan dalam berpikir dan
berinteraksi sosial. Pakaian itu telah memasukkan perempuan dalam ”ranah
sosial” yang terbatas, sempit, dan tidak bebas. Dengan kata lain penggunaan
pakaian tradisional itu menyebabkan perempuan menarik diri dari peran sosial
dan budaya, dan cenderung membenamkan diri dalam ranah domestik belaka.
Kedua, ia juga sangat tidak setuju kalau kaum lelaki (suami) sebagai pemegang
hak mutlak perceraian (thalâq). Menurutnya, perempuan berhak mengajukan gugatan
cerai melalui pengadilan, jika suami terbukti tidak lagi memenuhi kewajibannya
sebagaimana diajarkan oleh Islam. Misalnya, suami melakukan tindak kekerasan
dalam rumah tangga, tidak memberi nafkah lahir dan batin, berselingkuh, dan
sebagainya.
Ketiga, ia menentang praktik poligami yang banyak dilakukan oleh para penguasa
atau kalangan bangsawan yang seringkali menimbulkan kekerasan dalam rumah
tangga, dan merugikan kepentingan perempuan. Karena itu, Qasim Amin cenderung
menilai poligami itu tidak dibolehkan, karena potensial menyakiti hati
perempuan, menimbulkan permasalahan baru dalam rumah tangga, dan pada akhirnya
perempuan yang menjadi korban.
Keempat, menurutnya, pembangunan peradaban tidak dapat dilepaskan dari peran serta
perempuan. Karena itu, agar dapat berperan dan berdaya juang tinggi, perempuan
harus memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Peradaban Islam merupakan
sistem kehidupan yang terbentuk dari tegak dan berdayanya sistem sosial, sistem
politik, sistem budaya, dan sistem pendidikan. Semua sistem itu saling
bersinergi, dan saling mempengaruhi. Lelaki dan perempuan adalah penentu
tegaknya sistem-sistem tersebut. Singkatnya, perempuan harus dicerdaskan dan
dicerahkan (difasilitasi untuk bisa cerdas dan tercerahkan). Peradaban Islam
dapat kembali berjaya, jika ada kolaborasi dan sinergi kedua jenis manusia ini
dalam memikul tanggung jawab masing-masing.
b.
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili
Zainab Al-Ghazali Al-Zubaili adalah
wanita yang sangat luar biasa. Tokoh wanita asal Mesir dan pelopor gerakan
perempuan Islam.[6] Untuk
memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zhalim
pemerintahan Mesir terjadi di mana-mana.[7]
ia dilahirkan di wilayah Al-Bihira, Mesir, pada 1917. Ia adalah keturunan khalifah kedua Islam, Umar bin
Khaththab. Ia wafat dalam usia 88 tahun, meninggalkan warisan berupa perjuangan
membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis wanita yang tanpa ragu melawan
sekularisme dan liberalisme.
Pada usia 10 tahun, ia telah memperlihatkan
kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di depan umum. Keinginannya yang
sangat kuat, dan tekadnya yang membara, membuatnya maju untuk menempuh jenjang
pendidikan tinggi, saat kaum wanita pada saat itu jarang mengenyam
pendidikan, karena dianggap tabu.[8]
Pada tahun 1936, ketika itu Zainab Al-Ghazali berusia 18 tahun, ia mendirikan
Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum wanita yang
sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia
juga aktif di organisasi Persatuan Kelompok Feminis Mesir, yang dibentuk oleh
Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama, ia kemudian mengundurkan diri
dari organisasi itu, karena bersebarangan pendapat mengenai perjuangan
menuntut kesetaraan.[9]
Zainab Al-Ghazali banyak dipengaruhi
oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan Al-Banna. Ia memegang teguh
pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia adalah orang
yang lantang mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah dengan
rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Ia mengalami hidup yang
penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.
Model-model Siksaan
Banyak sekali siksaan yang di alami
oleh Zainab Al-Ghazali, bahkan siksaan yang di berikan kepadanya melebihi
siksaan yang di berikan kepada seorang laki-laki. Diantara siksaan yang di tujukan
kepadanya.[10]
Yakni, dicambuk hingga kakinya berdarah, di ikat, digantung secara bersamaan, direndam
didalam kolam, dan masih banyak sikssaan yang lainya yang di berikan kepadanya.
Pencapaian Hasil dari Gerakan Pembaharuan di Mesir
Setelah terjadinya gerakan pembaharuan ini, posisi perempuan mulai
terangkat. Banyak sekali pencapaian-capaian hasil gerakan pembaharuan tersebut,
diantaranya:[11]
a. Menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk
dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan
dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Terbukti
adanya berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam
Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka
gender.
b. Untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang
dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari
organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk.
c. Banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting
dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang
pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan.
Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program
sosial.
Daftar Pustaka
Amini, Aisah. Gerakan
Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
El
Tahaway, Randha. Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan. Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0 pada tanggal 28 September 2013.
http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=209:fikrah-edisi-22-model-pembebasan-perempuan-ala-qasim-amin&catid=38:fikrah&lang=en diakses pada tanggal 28 September 2013.
Qazan,
Shalan. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. Solo: Era
Intermedia, 2001.
[1] Aisah Amini, Gerakan
Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[2] Randha El Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.
Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0 pada tanggal 28 September 2013.
[3] Aisah Amini, Gerakan
Perempuan dalam Revolusi Mesir 1919.
[4]http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=209:fikrah-edisi-22-model-pembebasan-perempuan-ala-qasim-amin&catid=38:fikrah&lang=en diakses pada tanggal 28 September 2013.
[5] Ibid.
[6] Shalah Qazan, Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan (Solo: Era Intermedia, 2001), h.181.
[7] http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
[8] http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/1943-zainab-al-ghazali-al-zubaili-pengorbanan-seorang-pejuang-hak-kaum-wanita. diakses pada tanggal 28 Sepetember 2013.
[9] Ibid.
[10] Shalah Qazan, Membangun
Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, h. 188.
[11] Randha El
Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar