RELASI GENDER
DALAM AGAMA HINDU
Makalah
Revisi Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Relasi Gender dalam
Agama-agama
Dosen
Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, MA
Oleh
:
Rini
Farida (1111032100057)
Mila
Kamilah (1111032100051)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
BAB I
Pendahuluan
Kesetaraan
merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses
dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita
demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang
dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif
ini merupakan konsekusensi logis dari suatu pandangan yang bias dan posisi asimetris
dalam relasi sosial. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan tersebut dapat
menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang
termarginalisasi dan tersubordinasi.
BAB II
A.
Pengertian
a. Gender
adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran perempuan ditentukan
(Suprijadi dan Siskel, 2004).
b. Gender
adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk
oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu
tertentu (WHO, 2001).
c. Gender
adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi perempuan dan laki-laki
yang dibentuk oleh budaya (Azwar, 2001).
d. Gender
adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran
sosial berdasarkan jenis kelamin (Suryadi dan Idris, 2004).
Dalam sebuah buku dijelaskan bahwa gender adalah perbedaan dan
fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab
laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang
berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis
kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh
Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku
sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu
gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender
dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki yang dibentuk dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah
sesuai perkembangan zaman.Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin
(seks) adalah Gender dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu,
budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain
halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan,
berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan
merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.[1]
B.
Ketidaksetaraan Gender Dalam
Hinduisme
1. Relasi Kuasa Dewa-dewa dan Dewi-dewi
Mitologi
Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan mitologi
ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitologi ini diyakini
muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat
itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan. Lagu
tersebut memuji-muji alam dan unsur-unsurnya, seperti: udara, air, petir,
matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Dewa-Dewa
yang memiliki gelar masing-masing sesuai dengan unsur alam, seperti Bayu,
Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-Dewi inilah yang akan menjadi bagian
dari mitologi Hindu.
Menurut
para sarjana masa kini, pada zaman Weda, Dewa-Dewi dalam mitologi Hindu masih
dikonsepkan. Pada zaman ini, pemujaan dan mitologi mengenai Dewa-Dewa merupakan
pengetahuan akan ilmu ketuhanan. Setelah zaman Weda, disusul oleh kebudayaan
zaman Brahmana. Pada zaman ini, ilmu Weda dikembangkan dengan pengetahuan akan
upacara keagamaan. Zaman ini ditandai dengan cenderungnya pelaksanaan upacara
daripada pengajaran filsafat. Pada zaman ini mulai disusun kitab-kitab yang
menceritakan tentang mitologi, legenda, kosmologi, dan sebagainya. Pada zaman
Weda umat Hindu memohon anugerah dari para Dewa, sedangkan pada zaman Brahmana
para Dewa memiliki kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.Reruntuhan
jembatan kuno antara India dan Sri Lanka, seperti terkisah dalam wiracarita
Ramayana. Kini berada di dasar laut.
Zaman
Purana merupakan perkembangan dari kebudayaan terdahulu. Zaman ini merupakan
masa-masa ketika mitologi Hindu dihimpun. Pada zaman tersebut, Dewa-Dewi
tersebut memiliki karakter khusus dan dilukiskan secara detail. Pada zaman ini
pula, terjadi kisah epos Ramayana dan Mahabharata, yang dipercaya sebagai
kejadian bersejarah. Pada epos Ramayana, dikisahkan bahwa Sri Rama dan bala
tentaranya membangun sebuah jembatan dari India menuju Alengka (kini Sri
Lanka). Reruntuhan jembatan kuno yang menghubungkan antara India dan Sri Lanka
yang kini terpendam di dasar laut dianggap dan diyakini sebagai bukti
sejarahnya. Bukti arkeologi sangat dibutuhkan untuk meyakinkan apakah cerita
tersebut merupakan bagian dari sejarah atau mitologi belaka.
Mitologi
Hindu tak lepas dari cerita para makhluk supranatural, seperti misalnya: Dewa,
Asura, Raksasa, Detya, Gandharwa, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supernatural
yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa. Dalam mitologi Hindu
dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi
dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan
tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu pada
masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda
sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, dewa-dewi banyak
dipuja sebagai pelindung diri manusia.
Para
Dewa dan Dewi tinggal menurut tempatnya masing-masing, seperti misalnya: Dewa
Siwa di gunung Kailasha, Dewa Wisnu di Waikuntha, Dewa Brahma di Satyaloka dan
sebagainya. Namun, atas sifat-sifat gaib yang dimilikinya, para dewa dan dewi
dapat muncul dengan cepat kapan saja dan dimana saja sesuai dengan
keinginannya.
Dalam
kebudayaan India, penggambaran terhadap para dewa dan dewi dituangkan dalam
bentuk pahatan, ukiran, dan lukisan sesuai dengan atributnya. Atribut yang
dimiliki oleh para Dewa disesuaikan dengan karakternya, misalnya: Dewa Agni
berambut api, Dewa Wisnu bertangan empat dan memegang cakram, Dewa Brahma
berwajah empat, dan sebagainya.[2]
2. Mitologi
Penciptaan
Menurut
Sudarsana, konsep kesetaraan gender dari sudut pandang ajaran agama dijelaskan
dalam ajaran Maya Tattwa. Dalam ajaran itu diungkapkan Sang Hyang Widhi
bermanifestasi menjadi dua kekuatan untuk menciptakan alam semesta beserta
isinya yakni kekuatan cetana (kesadaran) disebut kekuatan purusa (maskulinum).
Kekuatan yang lainnya adalah acetana (ketidaksadaran) yang disebut kekuatan
prakerthi atau predhana (feminin). Kedua kekuatan itu memiliki proporsi serta
fungsi masing-masing.
Kekuatan purusa
menciptakan parama siwa tattwa, sadha siwa tattwa, siwa tatwa sampai
terciptanya kekuatan panca dewata. Kekuatan predhana menciptakan kekuatan
mahat, budhi, ahamkara, triguna, panca tan matra sampai adanya kekuatan panca
maha butha. ''Ajaran Maya Tattwa ini menegaskan bahwa sebelum manusia tercipta,
kesetaraan gender unsur kewanitaan dengan unsur kelaki-lakian telah diciptakan.
Namun memiliki proporsi dan fungsi masing-masing serta berjalan sinergis,
saling ketergantungan seolah-olah terciptanya suatu sistem sebagai ekosistem,''
ujarnya. Dia mengatakan, ekosistem inilah yang menjadi hukum Rta sesuai yang
diungkapkan dalam Weda. Hukum Rta ini disebut dharma dan semua makhluk di alam
semesta ini telah diikat oleh Dharmanya Sang Hyang Widhi. Oleh karena itu, tak
satu makhluk pun bisa terlepas dari ikatan dharma sehingga lahirlah yang
disebut swadharma. Dengan adanya swadharma, kehidupan makhluk di alam semesta
ini dapat mencerminkan aktivitas yang dinamis, seimbang, selaras, dan serasi.
Kalau swadharma ini diubah oleh manusia sendiri, hanya atas dasar kemajuan
zaman dan teknologi, itu sama dengan mengubah kesadaran, keseimbangan dan keserasian
alam terhadap isinya. Perubahan kesadaran bisa timbul disharmoni dan akan
berimplikasi negatif terhadap akhlak, moral, budi dan perilaku manusia sehingga
kehancuran tak terhindarkan hal ni yang disebut kali Yuga.[3]
3. Gender dalam teks-teks Hindu
“Prajanartha
sriyah srstah Samtanartham ca manawah Tasmat sadharano dharmah Crutau patnya
sahaditah”.
Artinya: Untuk menjadi ibu wanita
diciptakan dan untuk menjadi ayah
laki-laki di ciptakan oleh upacara keagamaan saat perkawinan, karena itu
ditetapkan di dalam weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.
[Manawa Dharmasastra IX. 96.]
“Kamamamaranattistheg
Grhe karyantum atyapi, Nacaivainam prayacchettu Guna hinaya karhicit”.
Artinya: Tetapi walaupun wanita itu
sudah cukup umur untuk kawin, hendaknya ia ditahan saja di rumah oleh orang
tuanya sampai mati daripada dia di kawinkan dengan laki-laki yang tidak
memiliki sifat baik.[Manawa dharma sastra IX. 89]
“Tatha nityam yateyatam
Stripumsau tu kritakriyau Yatha nabhicaretam tau Wiyuktawitaretaram”.
Artinya: Hendaknya Laki-laki dan
perempuan yang terikat oleh perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu –
jemunya supaya mereka tidak bercerai, dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan
satu dengan yang lainnya.[Manawa dharma sastra IX. 102]
Dengan menegaskan bahwa perbedaan
perlakuan oleh siapa pun dan kepada siapapun menjadi sah ketika dogma dari hukum “Adat” lebih di
tekankan dibanding hukum agama itu sendiri. Ini menempatkan masyarakat secara
umum pada kondisi yang tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh haknya secara
wajar dan sempurna. Akibatnya apa yang wajib dilakukan menurut hukum agama pun
menjadi terabaikan oleh kuatnya belenggu adat.
“Tasmindece ya acarah
Paramparyakrama gatah Warnanam santaralanam Sa sadacara ucyate”
Artinya: Adat istiadat yang diturunkan
dalam urutan yang wajar dan seimbang
dari sejak dahulu kala diantara empat warna utama dalam masyarakat serta
suku – suku campuran yang ada, dinamai adat istiadat orang-orang
bijaksana.[Manawa dharma sastra II. 18.]
“Panam durjana
samsargah Patya ca wirako’tanam, Swapno,nya geha wasacca Narisamdursanani
sat”.
Artinya: Meminum minuman keras, bergaul
dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami tidur pada jam-jam tidak layak,
mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab
jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [ Manawa Dharma sastra IX.
Sebagai etika moral dijelaskan dalam
ayat ini yang membatasi prilaku seorang perempuan dalam menjaga kehormatannya
dalam ruang sosial masyarakat bukan aturan yang bersifat memaksa yang mau tidak
mau harus ditaati oleh seorang perempuan. Tetapi ayat diatas memberikan ruang
untuk memilih dalam tatanan kehidupan masyarakat dan lingkungannya untuk
menjadi terhormat dan mulia atau perempuan yang jatuh, terhina dan
hancur.Artinya bahwa peran laki-laki dalam menjaga moral perempuan menurut ayat
ini bersifat pasif yang mana kewenangan dalam menempatkan jati diri seorang
perempuan ada pada dirinya sendiri. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa
paham kesetaraan dan keadilan sesungguhnya telah menjadi budaya Hindu sejak
lahirnya.[4]
4.
Gender dalam Tradisi
Hindu
Dalam masyarakat Hindu, bila keluarga
belum melahirkan anak laki-laki, terasa ada yang kurang. Karena dalam pandangan
Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyeberangkan jiwa orangtua ke surga.
Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, perkawinan merupakan salah satu
lembaga efektif. Dalam Weda Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki dan
perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha dengan tidak jemu-jemu
supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan antara satu dengan
yang lain. Perkawinan hanya sekali dan jangan melanggar kesetiaan.
Dasar hukum sebuah tradisi yang
diturunkan adalah Dharma yang menjamin kesetaraan, keseimbangan terbebas dari
pertentangan dualisme. Ini menjamin tidak ada perbedaan antara lemah dan kuat,
kaya dan miskin, rakyat dan kaum bangsawan, laki – laki dan perempuan serta
semua yang bersifat dualisme. Hal ini bertolak belakang dengan perilaku
sebagian besar masyarakat Indonesia yang dikarenakan oleh warisan budaya
feodalisme telah menunjukkan angka perilaku kekerasan terhadap pihak yang
lemah, dalam hal ini khususnya perempuan dan anak-anak. Terdapatnya
kecenderungan agama, budaya, tradisi adat ditafsirkan dengan menempatkan
perempuan sebagai warga negara kelas dua sehingga terus menerus menjadi korban
juga perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Upaya untuk menafsir ulang
tradisi adat, kebudayaan dan agama Hindu misalnya adalah sebuah upaya untuk
memberikan akses perdamaian dan keadilan bagi semua mahluk, apapun latar
belakang sosial, ekonomi, dan pilihan politiknya , atau jenis kelaminnya, semua
orang tanpa terkecuali.[5]
Berdasarkan pada teks-teks Sansekerta
yang memperlihatkan pengaruh dan bias Brahman, kemaskulinan dan tradisi India
utara, perempuan dalam tradisi Hinduisme memiliki posisi yang tidak setara
dengan laki-laki. Hal ini misalnya tergambar dalam kehidupan anak-anak ahli
Weda. Ia hanya diajari beberapa himne dan detail ritual untuk mempersiapkan
peranannya sebagai isteri. Seorang Ibu juga hanya akan melatih anak
perempuannya untuk melakukan aktivitas domestik. Demikian juga dalam hal
pendidikan, sehingga akses laki-laki dan perempuan sangat senjang. Dalam
kitab-kitab Brahman, perempuan diposisikan sebagai silent partner, kecuali dalam ritual
kelahiran anak atau pemberkatan cucu. Kendati Hinduisme menghargai perempuan
sebagai ibu, namun perempuan secara umum terutama di abad pertama SM, seperti
diposisikan sebagai kasta sudra, yang identik dengan kebodohandan kerendahan.[6]
5. Relasi
Gender Dalam Agama Hindu Bali
Agama Hindu yang masuk ke Bali ikut memengaruhi
relasi gender dalam masyarakat Bali. Konsep yang jelas terlihat adalah konsep
kasta yang menyebabkan adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta (Lansing, 1995:27).
Peraturan mengenai kasta tersebut memengaruhi adanya peraturan pernikahan
antarkasta. Sistem patrilineal melalui konsep purusa yang mengutamakan
laki-laki juga dipengaruhi oleh agama Hindu. Dalam Bowker
(http://www.encyclopedia.com, 1997) disebutkan bahwa purusa yang berarti
laki-laki diambil dari konsep agama Hindu. Dalam konsep tersebut purusa merupakan suatu kosmologi, materi pokok, dan dianggap sebagai
penyebab efisiensi alam semesta.
Dalam Bowker disebutkan pula bahwa
konsep purusa bersifat kepahlawanan
untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk hal
tersebut, terlihat bahwa konsep purusa (laki-laki) dipengaruhi oleh agama Hindu
dan dianggap hal utama bagi terciptanya harmoni bagi semua makhluk. Sistem
patriarki Bali muncul melalui hukum patriarkat atau patrilineal tersebut. Dalam
Panetje (1986:39) dijelaskan bahwa hukum kekeluargaan di Bali berdasarkan
patriarchaat (patriarkat) yaitu hubungan seorang anak dengan keluarga bapaknya
menjadi dasar tunggal bagi susunan keluarganya. Keluarga dari bapak atau
keluarga dari pancar laki (kepurusa) adalah hal yang paling penting. Oleh
karena itu, masyarakat Bali tetap mengidealkan kelahiran anak laki-laki
(purusa). Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat perhatian
lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibu. Namun, bukan berarti hubungan si
anak dengan ibunya atau keluarganya dari pancar ibu (wadu) tidak ada artinya
sama sekali. Hubungan dengan keluarga pancar wadu baru mendapat perhatian
sesudah hubungan dengan keluarga bapaknya tidak ada lagi. Konsep purusa terimplementasi
pula melalui pernikahan. Panetje (1986:116) menjelaskan bahwa perempuan Bali
yang sudah menikah tinggal di keluarga suaminya. Perempuan serta anak hasil
pernikahan tersebut masuk dalam garis kekerabatan keluarga suami atau bapaknya.
Istri tidak lagi wajib memuliakan sanggah keluarga bapak kandungnya. Perempuan
itu akan resmi mohon diri (mepamit) di sanggah asalnya dan di sanggah suaminya
ia melaporkan diri sebagai anggota baru.[7]
6.
Pernikahan
Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta
dari India sebagai bagian dari agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat
kasta yaitu brahmana, ksatria, vaisya, dan sudra. Selain keempat kasta
tersebut, India juga mengenal kategori orang-orang tanpa kasta. Dalam
masyarakat Bali hal tersebut tidak diadopsi (Lansing, 1995:27—28). Menurut Panetje (1986:20), empat kasta yang
disebut catur wangsa itu satu sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk salah
satu kasta itu hanya karena keturunan melalui garis pancar laki-laki (purusa).
Dalam Hadiwijono (1982:131) disebutkan bahwa agama Hindu asli mengaitkan kasta
dengan kelahiran, demikian pula kasta di Bali. Sistem kasta tersebut diwarisi
dari Majapahit meskipun pemisahannya tidak setajam di India. Hadiwijono juga
menjelaskan adanya perbedaan pandangan tentang kasta. Menurutnya, keterangan
tentang kasta terdapat pula dalam Upadesa, yaitu buku yang menguraikan ajaran
agama Hindu.
Dalam Upadesa disebutkan empat kasta
yang disebut Catur Varna bukan menunjukkan kedudukan atau status kelahiran.
Akan tetapi, kata varna diterangkan sebagai sifat dan bakat kelahiran dalam
mengabdi pada masyarakat. Hingga akhir abad ke-19 sistem kasta dipakai cukup
ketat (Raharjo, dkk.,1998:38). Namun, pada abad ke-20 tatanan masyarakat dengan
landasan kasta ini mulai digoncang. Hal tersebut karena adanya pengaruh
kolonial Belanda terutama melalui pendidikan model Barat yang semakin
terjangkau masyarakat luas. Meskipun hubungan sosial semakin dilandasi
kesamaan, agama Hindu tetap dipertahankan secara ketat. Pengaruh kolonial Barat
juga masuk dalam bidang pendidikan (Hadiwijono, 1982:106). Orang-orang dari
kalangan status ekonomi mapan tidak puas
hanya dengan bersekolah di Bali saja. Mereka meneruskan sekolah di Jawa.
Hal itu tidak hanya dilakukan oleh golongan bangsawan saja tetapi juga oleh
golongan sudra.
Panetje (1986:21—22) menyebutkan bahwa
dalam pernikahan, sesuai ketentuan hukum adat tahun 1910, pernikahan seorang
laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah merupakan sebuah
pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi laki-laki dan
perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran adat, pernikahan tersebut tetap sah.
Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih tinggi juga
menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-laki. Menurut Panetje,
pada zaman kerajaan Bali pelanggaran tersebut dapat menyebabkan kedua mempelai
dibunuh atas perintah raja, terlebih lagi apabila perempuan itu sudah menjadi
calon istri raja. Dalam kedua pernikahan tersebut si istri turun kasta menjadi
sama kastanya dengan si suami.
Pada tahun 1951 dengan Peraturan
Gubernur Kepala Daerah Bali, peraturan residen Bali dan Lombok tahun 1910
dihapuskan (Panetje, 1986:22). Kini pernikahan campuran diperbolehkan tanpa
hukuman pun. Akan tetapi, turun kasta bagi si istri tetap berlaku meskipun
tidak ditegaskan. Perempuan dari kasta tinggi yang menikah dengan laki-laki
dari kasta lebih rendah menjadi turun kasta dan mendapat kasta suaminya.
Perempuan yang menikah dengan laki-laki dari kasta yang lebih rendah tersebut
tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya atau menegur orang tuanya seperti
sediakala. Sementara itu, apabila seorang laki-laki berkasta menikah dengan
seorang perempuan sudra (tidak
berkasta), si istri berganti nama dan naik derajat menjadi jero atau mekel.[8]
7. Poligami
Konsep patriarki di Bali tampak pula
dalam praktek pernikahan poligami. Seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari
satu perempuan tanpa batasan. Menurut Korn (dalam Panetje, 1986:101) hanya di
desa Tengahan Pagringsingan terdapat perkecualian atas adat poligami. Di tempat
tersebut terdapat adat monogami. Panetje menjelaskan bahwa para raja atau
bangsawan yang mempunyai banyak istri, mengategorikan istri-istri mereka.
Seorang istri yang sederajat dengan suaminya diangkat menjadi istri pertama
disebut prameswari atau padmi. Adapun istri-istri yang lain
disebut penawing. Apabila mereka telah berstatus janda, kedudukan hukum
seorang padmi berbeda dengan istri yang berkedudukan sebagai penawing. Demikian
pula dengan masalah warisan, anak-anak padmi atau penawing berbeda haknya atas
warisan ayahnya. Dalam Geertz (1975:131),
disebutkan bahwa praktek poligami dilakukan oleh raja-raja dengan ambisi
seorang expansionist. Dalam praktek poligami tersebut seorang raja akan
mempunyai sejumlah anak laki-laki dari ibu yang berbeda. Di antara istri-istri
raja terdapat istri yang disebut padmi. Padmi melahirkan anak tertua yang
dianggap sebagai putra mahkota (putra makoto). Padmi harus datang dari keluarga
yang berstrata sama tingginya dengan raja. Oleh karena itu, padmi tertutup dari
pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan keluarga langsung dengan raja atau
dari garis patrilineal raja. Seluruh istri-istri lain yang berasal dari
keluarga bangsawan disebut penawing. Adapun seorang istri yang berasal dari
orang biasa disebut selir. Keturunan dari penawing dan selir secara kolektif
disebut ulun pada.Ulun Pada mempunyai strata lebih rendah daripada
anak-anak padmi.
Geertz menyebutkan pula bahwa perempuan
dari kalangan orang biasa yang menikah dengan bangsawan disebut mekel
atau jero. Perempuan yang berasal dari keluarga bangsawan memegang nama
aslinya dan ada yang naik derajat satu atau dua kali. Dengan demikian, di
antara para penawing itu tidak sama stratanya. Resistansi terhadap pernikahan
poligami di masyarakat Bali telah mulai tampak sejak sebelum masa kemerdekaan.
I Goesti Ajoe Rapeg, ketua organisasi Poetri Bali Sadar yang dibentuk tahun
1936, membuat artikel yang menolak poligami (Putra, 2007:31). Dalam artikel
yang berjudul ”Ordonansi Pernikahan” , I
Goesti Ajoe Rapeg menyatakan dukungan terhadap peraturan pernikahan dari
pemerintah Belanda. Ketentuan tersebut menurutnya dapat mempersulit suami untuk
menikah lagi lebih dari satu kali dan memperumit proses perceraian. Suami
diharapkan tidak mudah menceraikan istrinya dan juga tidak mencari perempuan
lain untuk dinikahi lagi sekehendak hatinya.
Pembahasan tentang pernikahan tersebut menunjukkan bahwa pihak perempuan
lebih banyak dikenai berbagai macam peraturan. Hal itu tampak misalnya dalam
pernikahan antarkelompok keluarga yang berseteru. Dalam pernikahan tersebut
pihak perempuan mempunyai konsekuensi lebih besar karena ia dapat diasingkan
secara sosial oleh kelompok keluarganya. Dalam praktik poligami di keluarga
raja, perempuan menjadi pihak-pihak yang diklasifikasikan stratanya: padmi,
penawing, selir. Penyebutan terhadap perempuan dari kalangan orang biasa yang
menikah dengan bangsawan juga dibedakan: mekel atau jero. Sementara itu, konsep adat pernikahan
nyeburin tetap berasaskan patrilineal karena perempuan memperoleh hak-hak sebagai
anak lelaki. Hak si suami sama dengan hak seorang istri. Konsep poligami juga
tampak pada pernikahan nyeburin. Dalam pernikahan nyeburin poligami tetap
diperbolehkan bagi suami yang diambil sebagai sentana asalkan ia tetap tinggal
di rumah istri pertama. Lansing (1995:40) menyebutkan bahwa perempuan Bali
mempunyai kekuasaan yang terbatas dalam keluarga dan masyarakat. Hal tersebut
terlihat dalam pernikahan. Pernikahan menandai berakhirnya secara formal
hubungan perempuan dengan keluarga dan leluhurnya kecuali apabila ia menikah
dengan sepupu dalam garis ayahnya.[9]
8. Suksesi
dan Harta Warisan
Suksesi kepemimpinan dalam masyarakat
Bali diturunkan dari ayah ke anak laki-laki. Menurut Geertz (1975:52), ketika
terjadi pembubaran rumah tangga yang terdapat dalam kelompok, suksesi
kepemimpinan seorang ayah ditentukan oleh seperangkat aturan. Hanya ada satu
orang anak laki-laki yang menggantikan ayah dan ia harus tinggal dalam kelompok
rumah tangga. Saudara laki-laki yang lebih tua biasanya yang lebih dulu
meninggalkan rumah sebelum yang muda. Sisa kekayaan milik ayah terutama tanah
milik, dibagi sama di antara semua anak laki-laki. Menurut Lansing (1995:39),
satu orang anak laki-laki yang paling muda akan mewarisi rumah ayahnya dan
memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan ritual-ritual penting di candi
leluhurnya.
Suksesi untuk golongan bangsawan lebih
rumit karena terdapat praktik poligami. Secara umum, terdapat peraturan bahwa
yang menggantikan kepemimpinan adalah anak laki-laki pertama dari istri yang
mempunyai strata sosial tertinggi (Geertz, 1975:54). Ia mewarisi
peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan dalam ritual peribadatan dan
mewarisi kepemimpinan dalam hal-hal politis. Dalam masalah warisan tanah milik
ayah, anak laki-laki yang menggantikan ayah sebagai pemimpin menerima bagian
yang paling luas daripada saudara laki-laki yang lain. Saudara laki-laki lain
membagi sisa itu menurut status ibu-ibu mereka.
Apabila dalam sebuah kelompok rumah
tangga tidak terdapat anak laki-laki maka perlu diambil ahli waris pengganti
untuk mewarisi pemeliharaan candi. Menurut Geertz (1975:54—55), terdapat dua
cara untuk mengambil ahli waris pengganti. Pertama, dengan mengambil seorang
laki-laki atau perempuan apabila pasangan suami-istri tidak mempunyai
keturunan. Kedua, dengan membawa seorang laki-laki dalam pernikahan (nyentana
atau nyeburin). Laki-laki yang menikah dengan perempuan tersebut masuk ke dalam
garis keturunan istri dan melepaskan hak waris di keluarga aslinya. Ia juga
masuk dalam peribadatan di candi istrinya, demikian juga anak mereka (Geertz,
1975:54). Adat pernikahan nyeburin ini tetap berasaskan patriarkat, karena
perempuan memperoleh hak-hak sebagai anak laki-laki. Adapun hak si suami sama
dengan hak seorang istri (Panetje, 1986:41).
Sejalan dengan hal itu, Lansing
(1995:39) juga menyebutkan bahwa apabila sebuah keluarga tidak mempunyai anak
atau semua anaknya perempuan yang setelah menikah keluar dadia, maka setelah
kematian orangtua rumah dan tanah akan kembali pada banjar. Apabila hal ini
terjadi, maka tidak ada satu orang pun yang memelihara tempat-tempat suci para
leluhur. Untuk menghindarinya, dilakukan adopsi ahli waris laki-laki. Mereka
biasanya menunggu sampai anak perempuannya dewasa sambil berharap akan
memperoleh anak laki-laki. Akan tetapi, jika akhirnya mereka tidak memperoleh
anak laki-laki, keluarga itu akan mencoba menemukan anak laki-laki angkat. Anak
laki-laki angkat tersebut akan mengadakan pemutusan ikatan tempat-tempat suci
leluhurnya dan berpindah ke dalam keluarga mereka. Ia akan mewarisi rumah dan
kekayaan orang tua angkat seolah-olah anak laki-laki kandung. [10]
C.
Daftar Pustaka
Husein Muhammad, Fiqh
Perempuan:atas wacana Agama dan Gender. Yogyakarta, LKiS.2009
I Wayan Wildana, Buklet Seri
Adat Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan
Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu. Poso: (KIAS) dan Institut
Mosintuwu, 2011
Arvind Sharma (ed.), Perempuan
Dalam Agama-agama Dunia, Jakarta: Ditpertais Depag RI-CIDA- McGill Project,
2002
Agung, Ida Bagus. Makalah Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap
Keagamaan Yang Adil Gender Dalam Keluarga: 2006
Putri: pemilihan identitas, Diyan Kurniawati, FIB UI, Universitas
Indonesia. 2009.
[1]
Husein Muhammad, Fiqh Wanita, hal.
xii
[3]Agung, Ida Bagus. 2006. Gender Dan
Swadharma Warga Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Hindu, Makalah untuk
Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam
Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 8
September 2006.
[4]
I Wayan Wildana , Buklet Seri Adat
Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan Keadilan
Gender dalam Perspektif Hindu, hal.33
[5]I Wayan Wildana, Buklet
Seri Adat Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu : Sebuah Pengantar Gerakan
Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, hal. 12
[7]Putri: pemilihan identitas, Diyan Kurniawati, FIB UI, 2009.
Universitas Indonesia.hal:5
[9]Ibid.
hal: 11
[10]Ibid,
hal: 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar