Selasa, 03 Desember 2013

Makalah Perempuan dalam Kajian Media

Perempuan Dalam Kajian Media
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender Dalam Agama-Agama

Oleh:
Nina

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR-HADIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013

PENDAHULUAN                  
               Perempuan, lagi-lagi menjadi objek kajian yang sedang menjadi topik kali ini. Apa hubungan perempuan dan media sehingga menjadi kajian media, dan bagaimana peran perempuan dalam media? Itulah yang menjadi pertanyaan dasar kami sebelum pembuatan makalah ini. Untuk lebih jelasnya, mari sama-sama simak pemaparan makalah tersebut. Seorang perempuan sudah sewajarnya dikatakan cantik, namun kenapa perempuan mesti dicekoki dengan produk-produk baru yang ditawarkan media, bahkan kebanyakan yang memaenkan peranan dalam hal ini kebanyakan perempuan. Why?
               Citra perempuan yang umunya dihayati oleh perempuan ialah citra yang dianut para lelaki, bahwa perempuan itu harus sabar, tabah, penyayang, keibuan, penyayang, suka mengalah, sumber kedamaian dan keadilan, pandai mengurus suami, ana-anak dan rumah tangga, selalu langsing awet muda, bersih, tidak boleh capek, harus selalu siap melayani suami, tidak boleh mengeluh, tidak boleh gosip, tidak ada kebebasan, dan sebagainya. Ketika perempuan tampil di lingkungan publik, laki-laki dengan mudahnya menuduh perempuan yang tidak bertanggung jawab untuk mengurus anak, rumah tangga dan sebagainya. Bahkan realita mengatakan perempuan yang sering tampil di media itu sedikit yang bisa mempertahankan hubungannya.[1]
Lantas dimanakah posisi perempuan di media? Mungkinkah hanya sisi-sisi yang rendah dan buruk yang  menjadi hak bagi seorang perempuan?
Beralih ke pembahasan media dan perempuan, apa yang dimaksud dengan perempuan dan media?
Sudah sama-sama diketahui bahwasanya perempuan adalah lawan dari jenis laki-laki. Awal hadirnya perempuan itu adalah diciptakannya Hawa untuk menemani Adam menjalani perintah Allah di dunia ini. Namun ada beberapa permasalahan teologis yang di beberapa agama sangat memarjinalkan perempuan terkait turunnya Adam ke dunia ini. Diceritakan bahwa Hawa merupakan penyebab mereka turun ke dunia, dikarenakan Hawa tergoda bujuk rayu setan yang menyuruhnya untuk mengambil buah kuldi (buah yang dilarang untuk dimakan). Hawa dan Adam yang memakannya langsung diperintahkan untuk turun ke dunia. Cerita inilah yang menjadi salah satu wacana yang selalu dibicarakan terkait dengan perempuan biang keladinya masalah. Pandangan tersebut tampaknya cenderung menempatkan posisi perempuan sebagai makhluk yang hina dan rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Bedakah perempuan dan wanita?
Secara ontologis yang membedakah hanya dari termnya saja, bahwa perempuan tertuju pada setiap lawan jenis laki-laki baik anak-anak ataupun yang sudah dewasa. Sementara wanita tertuju pada lawan jenis laki-laki yang sudah dewasa.
Namun apa beda antara perempuan dan laki-laki?
Dilihat dari sifatnya, bahwa perempuan itu kebanyakan memiliki karakter feminim. Artinya perempuan itu lembut, perhatian, perasa, emosional, mengalah, beraninya di belakang, bergantung, submisif, dan sebagainya. Sementara laki-laki itu kebanyakan memiliki karakter maskulin. Artinya laki-laki itu kuat, gagah, perkasa, pemberani, tegas, rasional, terus terang, suka menantang, agresif, dan sebagainya. Ini menandakan ketidakadilan gender, karena di masyarakat sering diartikan dengan “kodrat” seorang makhluk. Kemudian dari sisi biologisnya, perempuan memiliki payudara, vagina, ovarium, menstruasi, sel telur. Dan semua ini tidak dimiliki oleh laki-laki. Bahkan perempuan itu hamil, melahirkan dan menyusui, yang sangat tidak mungkin ada di laki-laki. Sedangkan laki-laki memiliki  penis, testis, sperma (spermatozoid yang akan membuahi sel telur). Hal ini juga tidak dimiliki oleh perempuan.
Bergeser ke pembahasan media. Apa yang anda ketahui tentang media?
Media, dari segi bahasanya adalah alat. Media  merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Terkait dengan media massa yang telah marak dikenal melalui banyak hal, semiasalkan televisi, hp, radio dan sebagainya, menjadi pembahasan yang global. Dan tidak cukup hanya dibahas dalam waktu yanhg singkat. Namun pengertian media massa ini perlu untuk diketahui berbagai pihak, mengingat banyak faktor yang menjadi pengaruh dari media massa ini.
Media massa terdiri dari kata media yang berarti alat, dan massa memiliki arti yang banyak. Namun disini hanya mengambil pengertian yang ada kaitannya dengan sebuah lembaga atau sekumpulan manusia, maka massa berarti kelompok manusia yang bersatu karena dasar atau pegangan tertentu.  Sehingga Media massa adalah alat penyampaian pesan, simbol-simbol. Berfungsi menarik perhatian, menghibur, memberi informasi, menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada individu-individu sehingga terintegrasi dalam struktur kelembagaan dan masyarakat (Chomsky, 1988: 1).[2]
Bagaimana peran perempuan dalam media?
Sebelum terlalu jauh, melihat sejarah yang pernah dilalui, hidup masyarakat memiliki zamannya sendiri. Ketika zaman modern, citra masyarakatnya adalah gemar membaca. Kemudian berkembang menjadi zaman post modern, citra masyarakatnya adalah media elektronik. Begitu cepatnya perkembangan media elektronik, dari komputer yang ukurannya bisa dikatakan sebesar lemari menjadi sebuah note book. Televisi yang hanya berwarna hitam putih menjadi berwarna dan bahkan bisa menangkap siaran dari berbagai Negara. Sekalipun sisi positifnya sudah terlihat, namun ada sisi negatifnya yang tentunya tidak  bisa dilupakan. Dengan adanya media, semua masyarakat terpacu pada media. Seolah-olah adanya “pemerkosaan” terhadap pola hidup masyarakat. Kita bisa merasakannya sendiri, saat kita sering memegang dan membawa handphone tiba-tiba hilang, apa yang dirasakan? Nah itulah yang menjadi realita sekarang ini, masyarakat sudah terkonsumsikan oleh benda mati yang berupa media elektronik, mengalahkan komunikasi kita yang hakiki yaitu komunikasi sesama kita secara langsung.[3]
Media massa dengan  jargon kebebasan ternyata tidak lepas dari semangat patriarki yang tentunya memberikan implikasi pada kebijakan redaksional, baik disengaja atau tidak. Bahkan media massa dengan dunia jurnalistiknya dapat dikatakan sebagai wilayah yang paling kentara memposisikan perempuan dalam konteks dikotomisnya dengan pria sebagai “rival”-nya.  Di media massa citra perempuan terasa “meriah”, ia menyita sebagian besar produk jurnalistik, mulai dari cover majalah, pajangan utama infotainment, iklan televisi sampai berita-berita yang berkenaan dengan perempuan berpolitik ataupun politik keperempuanan
 Perempuan di Media Massa ; Subyek atau Obyek-kah ?
       Bisa dikatakan bahwa perempuan di ranah media memiliki posisi sebagai objek. Hal ini bisa terlihat ketika melihat iklan-iklan yang ditayangkan dalam televisi, produk-produk kecantikan, atau program diet dan sebagainya mengetengahkan perempuan sebagai objeknya. Disitu perempuan hanya memerankan sisi bagusnya saja dari produk tersebut. Bahkan ketika terjadinya kasus pelecehan seksual atau penceraian, perempuan lah yang sering ditampilkan oleh media. Semisalkan bagaimana pakaian yang dikenakan perempuan saat dilecehkan, kemudian gugatan perempuan sebagai tersangka dalam penceraian. Jarang-jarang membuka secara detail permasalahan yang ada.
Antropolog Kartini Syahrir mengatakan bahwa perempuan menjadi perbincangan, karena ia di samping menjadi subyek juga menjadi obyek, di dalam kediriannya, perempuan mengaktualisasikan pikiran-pikiran, kehendak-kehendak, dan tujuan hidupnya. Tetapi di lain pihak, karena wujud fisik yang dimilikinya, dia menjadi “sasaran tembak”  dari anggota masyarakat di mana ia berada. Dan posisi kedua inilah yang  yang sering dialami perempuan. Dalam perannya sebagai obyek ini, perempuan dilihat sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan gerak dan dia berfungsi tak lebih dari  sekedar pemenuh kebutuhan ekonomi, sosial, dan rohani dari anggota masyarakat. Pemikir Perancis, Beauvoir, mengatakan dalam masyarakat, perempuan senantiasa digambarkan  berada dalam kehidupan yang serba kepasifan, sehingga sub-ordinasi perempuan terhadap pria pun dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Di dunia jurnalistik, kondisi ini sedikit banyak  terpantul, karena Perempuan lebih banyak terlibat dalam fungsinya sebagai cover dan model majalah atau sumber untuk diberitakan atau “digosifkan” daripada sebagai penuang gagasan.
Kentalnya peran sebagai obyek ini juga akan dapat terasa jika kita melihat bahasa yang digunakan media massa yang sebenarnya sangat berpengaruh pada persepsi dan cara pandang pembaca atau pemirsa terhadap sesuatu hal. Bahkan bahasa berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang menggunakan, lewat sugesti-sugesti yang diberikan oleh kata tertentu. Bahasa dengan “kekuatan tersembunyinya“ mampu melestarikan nilai dalam masyarakat dan mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi sosial berdasarkan keyakinan yang dikristalkan dengan bahasa. Maka ketika bahasa digunakan oleh media massa maka ia memiliki tanggung jawab “lebih”, karena akan dikonsumsi dan berpengaruh memperkuat stereotype pada pemirsa yang sangat banyak dan heterogen.[4]

A.     Konstruksi kesadaran indentitas perempuan  dalam  Majalah (Kartini, Cosmopolitan, Kartini, dan Sebagainya
Majalah menciptakan perempuan pembacanya, berdialog dengan pembacanya sekaligus membela apa yang dianggap pembacanya benar. Dengan kata lain, konsep ideal mengenai seorang perempuan dalam suatu majalah menjadi menjadi norma yang diciptakan sendiri oleh majalah dan terus direproduksi dalam kaitannya dengan pembaca dan target pasar regionalnya. Perlintasan berbagai bahasa dan semakin meningkatnya penggunaan komunikasi visual, termasuk gambar/citra dan iklan dalam majalah dan budaya perempuan. Citra-citra ini berfungsi untuk memproyeksikan tidak saja budaya global sebagai globalisasi, tetapi juga memaksakan yang lokal terhadap yang global sedemikian sehingga baik yang lokal maupun yang global harus terus menerus bernegosiasi dan berdialog.
Perempuan ‘lokal’ memproyeksikan dirinya sebagai global dan lokal melalui citra yang ditampilkan dipelbagai media yang tersedia bagi dirinya, termasuk sastra, majalah, televisi, film, media cetak dan media cyber. Citra di dalam majalah perempuan Indonesia, misalnya, meskipun dimodeli oleh ‘perempuan lokal’ tidak serta merta merepresentasi femininitas lokal Indonesia karena mereka juga merepresentasi femininitas global. Dalam logika yang sama dapat diargumentasikan bahwa meskipun pelbagai media berbicara dalam bahasa lokal Indonesia, media yang berbeda ini juga menggunakan Bahasa Inggris, yang dianggap sebagai bahasa global, yang bahkan dalam banyak hal, berbagai bahasa ini (Indonesia, Inggris atau bahasa daerah) digunakan secara bersama-sama seolah-olah merupakan satu bahasa, namun sebenarnya ini adalah cara globalisasi oleh media. Fenomena ini terutama jelas terlihat dalam teks auto/biografis selebritas perempuan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu, misalnya Jawa, Manado, Sunda, dan sebagainya, atau dalam konteks kebangsaan (Indonesia), tetapi pada saat yang sama mereka memproyeksikan diri sebagai “global” Sebagaimana terefleksikan dalam tingginya penggunaan Bahasa Inggris di dalam teks auto/biografis para selebritas. Hal yang sama dapat juga dikatakan sehubungan dengan representasi melalui citra yang ditampilkan oleh para selebritas sebagai orang Indonesia, misalnya dengan mengenakan pakaian tradisional atau aksesori lain yang mengacu kepada budaya Indonesia, tetapi pada saat yang sama merupakan warga negara global melalui konsumsi barang-barang bermerek global dan juga penampilannya dengan mengenakan pakaian masa kini yang mengglobal, misalnya jeans dan gaun.[5]
Nah dimanakah konstruksi kesadaran identitas bagi perempuan? Setelah melihat kasus-kasus yang ada, bahwa perempuan sudah terkonsumsikan oleh hal-hal yang baru, maka perlu adanya kesadaran dari diri perempuan sendiri.  Bahkan perempuan juga harus menyadari bagaimana konstruksi perempuan sebagai ibu dan sebagai istri. Mengambil hal yang baiknya dari pengaruh globalisasi dan menjaga budaya yang baik sebagai warga Negara Indonesia yang baik.

B.     Konstruksi kesadaran indentitas perempuan  dalam  Iklan
Dari pembahasan tadi, yang menjadi objek dalam media salah satunya iklan adalah perempuan. Begitupun kapitalisme masih mempengaruhi aktivitas media sehingga turut mempengaruhi pembentukan identitas perempuan. Akibat ketergantungan majalah perempuan pada iklan, mendorong pembaca menjadi konsumtif karena secara tidak disadari, pembaca telah dijadikan sebagai target sasaran iklan tersebut, melalui cara mempromosikan femininitas dalam tampilan praktik konsumsi. Sehingga perlu adanya kesadaran identitas bagi perempuan atas apa yang telah disajikan oleh iklan.
C.    Konstruksi kesadaran indentitas perempuan  dalam  film/ sinetron
Tulisan ini menjelaskan bagaimana konstruksi identitas dan peran gender melalui media dan bagaimana feminis merespon hal tersebut. Berbagai kritik muncul dari perspektif feminisme memperlihatkan bagaimana media berperan dalam konstruksi peran perempuan dalam masyarakat secara inherent bertolak belakang dengan semangat perjuangan pembebasan perempuan, khususnya produksi film-film tertentu. Nah disini perlu adanya kesadaran terhadap identitas perempuan dari film atau sinetron tersebut.
Citra perempuan yang ditampilkan di media masih mengandung unsur-unsur negatif dan diskriminatif. Di beberapa sinetron, kita sering melihat sang tokoh utama (yang diperankan oleh seorang perempuan) sering menjadi sosok yang lemah dan teraniaya. Belum lagi dengan beberapa komedi situasi yang masih menampilkan sosok seorang perempuan yang kerjaan utamanya hanya dandan tetapi bisa menjadi sekretaris sebuah perusahaan. Sosok perempuan di televisi masih sering dijadikan sebagai boneka untuk menarik minat lebih banyak penonton dengan menampilkan adegan mesum.  
Media masa dapat menjadi reflektor dari ketidak adilan gender dalam masyarakat, karena menampilkan kehidupan manusia faktual maupun fiksional. Komodifikasi perempuan dapat terjadi di ruang publik, dari sini diangkat sebagai informasi media. Komodifikasi perempuan berlangsung dengan menjadikan faktor tubuh perempuan sebagai komoditi. Ini dapat berlangsung dalam interaksi sosial maupun mediasi. Pada tataran interaksi sosial eksploitasi perempuan muncul dalam prostitusi. Prostitusi (subjeknya disebut prostitut) perlu dibedakan dari kerja seksual (oleh pekerja seksual). Dengan prostitusi kemanfaatn ekonomi yang diperoleh oleh pihak yang berkuasa atas diri perempuan. Perempuan berada dalam sistem tersebut secara sukarela atupun tidak. Sedang pada tataran mediasi dapat dilihat sebagai pornografi. Pornografi dapat didefinisikan secara negatif, yaitu cara atau tindakan seksual yang tidak mempunyai makna spiritual dan tidak berdasarkan perasan halus. Tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak unutk tujuan estetika.
Erotika dalam aktivitas kultural bisa juga disebut gengan ‘‘ erotic art“ merupakan istilah untuk karya seni  (tulisan,gambar atau pertunjukan) yang menggambarkan seks secara eksplisit. Dengan adanya nilai yang memiliki konteks artistik, erotika dibedakan dari pornografi. Sebaliknya unsur tidak senonoh dalam karya seni dapat menjadikannya dipandang sebagai materi pornografi. Secara sederhana sering erotika dipandang sebagai seni, sedangkan pornografi sebagai produk komersial (comodity).
Proses komodifikasi yang digerakkan oleh kapitalisme pada hakekatnya bersifat patriarki, secara struktural dunia patriarki dari kapitalisme ini dapat saja digerakkan oleh perempuan, karena lebih banyak germo yang‘‘mami‘‘ ketimbang ‚‘‘papi‘‘. Begitu juga dunia periklanan yang banyak menjadikan fitur tubuh perempuan sebagai komoditas banyak punya digerakkan oleh perempuan. Dengan kata lain, struktur patriarkhi tidak perlu mempersoalkan siapa penggeraknya, tetapi yang penting adalah bagaimana mesin kehidupan sosial itu bergerak[6].
Bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap Pencitraan Perempuan di Media?
Bukan hal yang asing lagi bahwa kaum perempuan sering menjadi objek utama media massa. Jika kita melihat dari sisi filsafat, perempuan adalah makhluk humanis. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Sayangnya, perempuan masih sering menjadi sosok yang termarjinalkan di dalam masyarakat. Di media massa elektronik seperti televisi, sosok perempuan sering dijadikan sebagai alat atau komoditas untuk meningkatkan rating sebuah acara. Hal ini sangat memprihatinkan karena perempuan cenderung dilihat hanya dari sisi keindahan biologisnya saja. Sehingga dapat dipastikan bahwa peran Komisi Penyiaran Indonesia penting.
Komisi Penyiaran Indonesia sudah berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Fungsi komisi ini adalah sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Kedudukannya pun setingkat dengan lembaga negara yang lain meskipun Komisi Penyiaran Indonesia ini adalah sebuah lembaga independen. Secara garis besar, Kominis Penyiaran Indonesia memiliki tugas untuk mengatur penyiaran yang diselenggarakan oleh tidak hanya Lembaga Penyiaran Publik saja tetapi juga Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Pada tahun 2012 ada 4 kasus penyiaran terbesar. Keempat kasus tersebut terjadi di televisi yang dimiliki oleh tokoh nasional. Karena empat kasus besar tersebut, jumlah pengaduan publik terhadap isi siaran televisi melonjak drastis dari tahun 2011 ke tahun 2012. Pada tahun 2011 hanya ada 2.857 jumlah pengaduan publik sedangkan pada tahun 2012 ada 43.470 jumlah laporan pengaduan publik. Dengan kata lain jumlah laporan naik sebesar 95% dari tahun 2011 ke tahun 2012.[7]
Program-program televisi di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan citra perempuan. Komisi Penyiaran Indonesia tampaknya harus lebih banyak mengerahkan energinya pada program-program televisi yang bermasalah. Program-program televisi yang masih sering mengeksploitasi tubuh perempuan sudah saatnya ditindak tegas. Masyarakat Indonesi membutuhkan lebih banyak program-program televisi yang mengusung kualitas intelektul daripada sekadar mempertontonkan tubuh perempuan. Ditambah lagi kontrol masyarakat untuk memilih program yang bisa dan layak ditonton oleh keluarga khususnya anak-anak.
Peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam menjaga citra perempuan sangatlah penting. Pihak televisi perlu diberi peringatan yang lebih tegas dalam menayangkan program-programnya. Jika sebuah program televisi mengandung ketidaksetaraan relasi gender serta menampilkan tubuh perempuan sebagai penarik perhatian atau objek, makah hal itu bisa digolongkan dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia berbasis gender.[8]


PENUTUP
Demikianlah perempuan dalam kajian media yang kian disorot sebagai objek media tersebut. Kehadiran sosok perempuan dalam media tidak lain adalah untuk menarik perhatian publik sehingga status perempuan disini tidak sesuai dengan posisi yang seharusnya. Perempuan terkadang dipandang sebelah mata dalam media, dalam arti keluar dari prosedur faktual. Perempuan dijadikan sebagai penglaris pasar produksi.
Dari uraian di atas, dipandang bahwa perempuan dalam media hingga saat ini masih belum mendapatkan keadilan atau bisa dikatakan kesetaraan gender, perempuan juga berhak mendapatkan hak-haknya dalam publik, media, politik, ekonomi tidak hanya kaum pria saja yang menguasai semua hal tersebut. Dengan adanya komisi penyiaran Indonesia, maka diharapkan semua bentuk tayangan di media dapat disaring dengan sebaik-baiknya sehingga penayangan film, iklan dan lain sebagainya khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Dengan demikian akan terjadi harmonisasi pandangan terhadap citra perempuan dalam masyarakat.

Daftar Pustaka
Siregar , Hetty, Menuju Dunia Baru : Komunikasi, Media, dan Gender, Jakarta :Yakoma  PGI, cet 1, 1999.
Muhammad Anas, Ja’far Qasim, mengembalikan hak-hak politik perempuan : sebuah perspektif islam. Jakarta : azan. 2001.
Fita Fathurrokhmah, Makalah Jurnalistik Media Massa dan Public Sphere.
http//potret perempuan di media masa—yayan sakkti. Diakses pada tanggal 25 oktober 2013.
http://www.academia.edu/2624526/Membangun_Femininitas_Glokal_Transformasi_Kesadaran_dan_Negosiasi_Femininitas_dalam_Auto_Biografi_Yuni_Shara
Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik  Ketidakadilan konstruksi perempuan di film/ televisi . , volume 7, nomor 3, maret 2004



[1]Teringat saat diadakan seminar oleh Ikatan Remaja Masjid Fathullah, pembicara Ust. Ali, yang merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan tema “Peran Perempuan dalam Membangun Negara
[2] Fita Fathurrokhmah, Makalah Jurnalistik Media Massa dan Public Sphere.
[3] Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru : Komunikasi, Media, dan Gender, Jakarta : Yakoma PGI, 1999, cet I, h. 60
[4]http//potret perempuan di media masa—yayan sakkti. Diakses pada tanggal 25 oktober 20013.
[5]http://www.academia.edu/2624526/Membangun_Femininitas_Glokal_Transformasi_Kesadaran_dan_Negosiasi_Femininitas_dalam_Auto_Biografi_Yuni_Shara
[6] Ketidakadilan konstruksi perempuan di film/ televisi . Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik , volume 7, nomor 3, maret 2004. (335-350)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar