Perempuan Dalam Kajian Media
Makalah
ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Relasi Gender Dalam Agama-Agama
Oleh:
Nina
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
TAFSIR-HADIS
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
PENDAHULUAN
Perempuan,
lagi-lagi menjadi objek kajian yang sedang menjadi topik kali ini. Apa hubungan
perempuan dan media sehingga menjadi kajian media, dan bagaimana peran
perempuan dalam media? Itulah yang menjadi pertanyaan dasar kami sebelum
pembuatan makalah ini. Untuk lebih jelasnya, mari sama-sama simak pemaparan
makalah tersebut. Seorang perempuan sudah sewajarnya dikatakan cantik, namun
kenapa perempuan mesti dicekoki dengan produk-produk baru yang ditawarkan
media, bahkan kebanyakan yang memaenkan peranan dalam hal ini kebanyakan
perempuan. Why?
Citra perempuan yang umunya dihayati
oleh perempuan ialah citra yang dianut para lelaki, bahwa perempuan itu harus
sabar, tabah, penyayang, keibuan, penyayang, suka mengalah, sumber kedamaian
dan keadilan, pandai mengurus suami, ana-anak dan rumah tangga, selalu langsing
awet muda, bersih, tidak boleh capek, harus selalu siap melayani suami, tidak
boleh mengeluh, tidak boleh gosip, tidak ada kebebasan, dan sebagainya. Ketika
perempuan tampil di lingkungan publik, laki-laki dengan mudahnya menuduh
perempuan yang tidak bertanggung jawab untuk mengurus anak, rumah tangga dan
sebagainya. Bahkan realita mengatakan perempuan yang sering tampil di media itu
sedikit yang bisa mempertahankan hubungannya.[1]
Lantas
dimanakah posisi perempuan di media? Mungkinkah hanya sisi-sisi yang rendah dan
buruk yang menjadi hak bagi seorang
perempuan?
Beralih ke
pembahasan media dan perempuan, apa yang dimaksud dengan perempuan dan media?
Sudah
sama-sama diketahui bahwasanya perempuan adalah lawan dari jenis laki-laki.
Awal hadirnya perempuan itu adalah diciptakannya Hawa untuk menemani Adam
menjalani perintah Allah di dunia ini. Namun ada beberapa permasalahan teologis
yang di beberapa agama sangat memarjinalkan perempuan terkait turunnya Adam ke
dunia ini. Diceritakan bahwa Hawa merupakan penyebab mereka turun ke dunia,
dikarenakan Hawa tergoda bujuk rayu setan yang menyuruhnya untuk mengambil buah kuldi (buah yang dilarang untuk dimakan). Hawa
dan Adam yang memakannya langsung diperintahkan untuk turun ke dunia. Cerita
inilah yang menjadi salah satu wacana yang selalu dibicarakan terkait dengan
perempuan biang keladinya masalah. Pandangan tersebut tampaknya cenderung
menempatkan posisi perempuan sebagai makhluk yang hina dan rendah dibandingkan
dengan kaum laki-laki.
Bedakah perempuan
dan wanita?
Secara
ontologis yang membedakah hanya dari termnya saja, bahwa perempuan
tertuju pada setiap lawan jenis laki-laki baik anak-anak ataupun yang sudah
dewasa. Sementara wanita tertuju pada lawan jenis laki-laki yang sudah dewasa.
Namun apa
beda antara perempuan dan laki-laki?
Dilihat
dari sifatnya, bahwa perempuan itu kebanyakan memiliki karakter feminim. Artinya perempuan itu lembut, perhatian,
perasa, emosional, mengalah, beraninya di belakang, bergantung, submisif, dan sebagainya. Sementara laki-laki itu
kebanyakan memiliki karakter maskulin. Artinya laki-laki itu kuat, gagah,
perkasa, pemberani, tegas, rasional, terus terang, suka menantang, agresif, dan sebagainya. Ini menandakan ketidakadilan
gender, karena di masyarakat sering diartikan dengan “kodrat” seorang makhluk.
Kemudian dari sisi biologisnya, perempuan memiliki payudara, vagina, ovarium, menstruasi, sel telur. Dan semua ini tidak dimiliki oleh
laki-laki. Bahkan perempuan itu hamil, melahirkan dan menyusui, yang sangat
tidak mungkin ada di laki-laki. Sedangkan laki-laki memiliki penis, testis, sperma (spermatozoid yang akan membuahi sel
telur). Hal ini juga tidak dimiliki oleh perempuan.
Bergeser
ke pembahasan media. Apa yang anda ketahui tentang media?
Media, dari segi bahasanya adalah alat. Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.
Terkait
dengan media massa yang telah marak dikenal melalui banyak hal, semiasalkan
televisi, hp, radio dan sebagainya, menjadi pembahasan yang global. Dan tidak
cukup hanya dibahas dalam waktu yanhg singkat. Namun pengertian media massa ini
perlu untuk diketahui berbagai pihak, mengingat banyak faktor yang menjadi pengaruh
dari media massa ini.
Media massa
terdiri dari kata media yang berarti alat, dan massa memiliki arti yang banyak.
Namun disini hanya mengambil pengertian yang ada kaitannya dengan sebuah
lembaga atau sekumpulan manusia, maka massa berarti kelompok
manusia yang bersatu karena dasar atau pegangan tertentu. Sehingga Media massa
adalah alat penyampaian pesan, simbol-simbol. Berfungsi menarik perhatian, menghibur, memberi
informasi, menanamkan nilai-nilai dan kepercayaan kepada individu-individu
sehingga terintegrasi dalam struktur kelembagaan dan masyarakat (Chomsky, 1988:
1).[2]
Bagaimana
peran perempuan dalam media?
Sebelum terlalu
jauh, melihat sejarah yang pernah dilalui, hidup masyarakat memiliki zamannya
sendiri. Ketika zaman modern, citra masyarakatnya adalah gemar membaca.
Kemudian berkembang menjadi zaman post modern, citra masyarakatnya
adalah media elektronik. Begitu cepatnya perkembangan media elektronik, dari
komputer yang ukurannya bisa dikatakan sebesar lemari menjadi sebuah note book.
Televisi yang hanya berwarna hitam putih menjadi berwarna dan bahkan bisa menangkap
siaran dari berbagai Negara. Sekalipun sisi positifnya sudah terlihat, namun
ada sisi negatifnya yang tentunya tidak
bisa dilupakan. Dengan adanya media, semua masyarakat terpacu pada
media. Seolah-olah adanya “pemerkosaan” terhadap pola hidup masyarakat. Kita
bisa merasakannya sendiri, saat kita sering memegang dan membawa handphone
tiba-tiba hilang, apa yang dirasakan? Nah itulah yang menjadi realita
sekarang ini, masyarakat sudah terkonsumsikan oleh benda mati yang berupa media
elektronik, mengalahkan komunikasi kita yang hakiki yaitu komunikasi sesama
kita secara langsung.[3]
Media massa dengan jargon kebebasan
ternyata tidak lepas dari semangat patriarki
yang tentunya memberikan implikasi pada kebijakan redaksional, baik
disengaja atau tidak. Bahkan media massa dengan dunia jurnalistiknya dapat
dikatakan sebagai wilayah yang paling kentara memposisikan perempuan dalam
konteks dikotomisnya dengan pria sebagai “rival”-nya. Di media massa
citra perempuan terasa “meriah”, ia menyita sebagian besar produk jurnalistik,
mulai dari cover majalah, pajangan utama infotainment, iklan televisi
sampai berita-berita yang berkenaan dengan perempuan berpolitik ataupun politik
keperempuanan.
Perempuan di Media Massa ; Subyek atau Obyek-kah ?
Bisa dikatakan bahwa perempuan di ranah
media memiliki posisi sebagai objek. Hal ini bisa terlihat ketika melihat
iklan-iklan yang ditayangkan dalam televisi, produk-produk kecantikan, atau
program diet dan sebagainya mengetengahkan perempuan sebagai objeknya. Disitu
perempuan hanya memerankan sisi bagusnya saja dari produk tersebut. Bahkan
ketika terjadinya kasus pelecehan seksual atau penceraian, perempuan lah yang
sering ditampilkan oleh media. Semisalkan bagaimana pakaian yang dikenakan
perempuan saat dilecehkan, kemudian gugatan perempuan sebagai tersangka dalam
penceraian. Jarang-jarang membuka secara detail permasalahan yang ada.
Antropolog Kartini Syahrir mengatakan bahwa perempuan menjadi
perbincangan, karena ia di samping menjadi subyek juga menjadi obyek, di dalam
kediriannya, perempuan mengaktualisasikan pikiran-pikiran, kehendak-kehendak,
dan tujuan hidupnya. Tetapi di lain pihak, karena wujud fisik yang dimilikinya,
dia menjadi “sasaran tembak” dari anggota masyarakat di mana ia berada.
Dan posisi kedua inilah yang yang sering dialami perempuan. Dalam
perannya sebagai obyek ini, perempuan dilihat sebagai makhluk yang memiliki
keterbatasan gerak dan dia berfungsi tak lebih dari sekedar pemenuh
kebutuhan ekonomi, sosial, dan rohani dari anggota masyarakat. Pemikir
Perancis, Beauvoir, mengatakan dalam masyarakat, perempuan senantiasa
digambarkan berada dalam kehidupan yang serba kepasifan, sehingga sub-ordinasi
perempuan terhadap pria pun dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Di dunia
jurnalistik, kondisi ini sedikit banyak terpantul, karena Perempuan lebih
banyak terlibat dalam fungsinya sebagai cover dan model majalah atau
sumber untuk diberitakan atau “digosifkan” daripada sebagai penuang gagasan.
Kentalnya peran sebagai obyek ini juga akan dapat terasa jika kita
melihat bahasa yang digunakan media massa yang sebenarnya sangat berpengaruh
pada persepsi dan cara pandang pembaca atau pemirsa terhadap sesuatu hal.
Bahkan bahasa berpengaruh terhadap gerak fisikal manusia yang
menggunakan, lewat sugesti-sugesti yang diberikan oleh kata tertentu. Bahasa
dengan “kekuatan tersembunyinya“ mampu melestarikan nilai dalam masyarakat dan
mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi sosial berdasarkan keyakinan yang
dikristalkan dengan bahasa. Maka ketika bahasa digunakan oleh media massa maka
ia memiliki tanggung jawab “lebih”, karena akan dikonsumsi dan berpengaruh
memperkuat stereotype pada pemirsa yang sangat banyak dan heterogen.[4]
A.
Konstruksi kesadaran indentitas perempuan dalam
Majalah (Kartini, Cosmopolitan, Kartini, dan Sebagainya
Majalah menciptakan perempuan pembacanya, berdialog dengan
pembacanya sekaligus membela apa yang dianggap pembacanya benar. Dengan kata
lain, konsep ideal mengenai seorang perempuan dalam suatu majalah menjadi
menjadi norma yang diciptakan sendiri oleh majalah dan terus direproduksi dalam
kaitannya dengan pembaca dan target pasar regionalnya. Perlintasan berbagai bahasa dan semakin
meningkatnya penggunaan komunikasi visual, termasuk gambar/citra dan iklan
dalam majalah dan budaya perempuan. Citra-citra ini berfungsi untuk
memproyeksikan tidak saja budaya global sebagai globalisasi, tetapi juga
memaksakan yang lokal terhadap yang global sedemikian sehingga baik yang lokal
maupun yang global harus terus menerus bernegosiasi dan berdialog.
Perempuan ‘lokal’
memproyeksikan dirinya sebagai global dan lokal melalui
citra yang ditampilkan dipelbagai media
yang tersedia bagi dirinya, termasuk sastra, majalah, televisi, film, media
cetak dan media cyber. Citra di dalam majalah perempuan Indonesia, misalnya,
meskipun dimodeli oleh ‘perempuan lokal’ tidak serta merta merepresentasi
femininitas lokal Indonesia karena mereka juga merepresentasi femininitas
global. Dalam logika yang sama dapat diargumentasikan bahwa meskipun pelbagai
media berbicara dalam bahasa lokal Indonesia, media yang berbeda ini juga
menggunakan Bahasa Inggris, yang dianggap sebagai bahasa global, yang bahkan
dalam banyak hal, berbagai bahasa ini (Indonesia, Inggris atau bahasa daerah)
digunakan secara bersama-sama seolah-olah merupakan satu bahasa, namun
sebenarnya ini adalah cara globalisasi oleh media. Fenomena ini terutama jelas
terlihat dalam teks auto/biografis selebritas perempuan Indonesia yang
mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu, misalnya Jawa,
Manado, Sunda, dan sebagainya, atau dalam konteks kebangsaan (Indonesia), tetapi
pada saat yang sama mereka memproyeksikan
diri sebagai “global” Sebagaimana
terefleksikan dalam tingginya penggunaan Bahasa Inggris di dalam teks
auto/biografis para selebritas. Hal yang sama dapat juga dikatakan sehubungan
dengan representasi melalui citra yang ditampilkan oleh para selebritas sebagai
orang Indonesia, misalnya dengan mengenakan pakaian tradisional atau aksesori
lain yang mengacu kepada budaya Indonesia, tetapi pada saat yang sama merupakan
warga negara global melalui konsumsi barang-barang bermerek global dan juga
penampilannya dengan mengenakan pakaian masa kini yang mengglobal, misalnya
jeans dan gaun.[5]
Nah dimanakah konstruksi kesadaran identitas
bagi perempuan? Setelah melihat kasus-kasus yang ada, bahwa perempuan sudah
terkonsumsikan oleh hal-hal yang baru, maka perlu adanya kesadaran dari diri
perempuan sendiri. Bahkan perempuan juga
harus menyadari bagaimana konstruksi perempuan sebagai ibu dan sebagai istri.
Mengambil hal yang baiknya dari pengaruh globalisasi dan menjaga budaya yang
baik sebagai warga Negara Indonesia yang baik.
B.
Konstruksi kesadaran indentitas
perempuan dalam Iklan
Dari pembahasan tadi, yang menjadi objek dalam media
salah satunya iklan adalah perempuan. Begitupun kapitalisme masih mempengaruhi aktivitas media
sehingga turut mempengaruhi pembentukan identitas perempuan. Akibat
ketergantungan majalah perempuan pada iklan, mendorong pembaca menjadi
konsumtif karena secara tidak disadari, pembaca telah dijadikan sebagai target
sasaran iklan tersebut, melalui cara mempromosikan femininitas dalam tampilan
praktik konsumsi. Sehingga perlu adanya kesadaran identitas bagi perempuan atas
apa yang telah disajikan oleh iklan.
C.
Konstruksi kesadaran indentitas
perempuan dalam film/ sinetron
Tulisan ini
menjelaskan bagaimana konstruksi identitas dan peran gender melalui media dan
bagaimana feminis merespon hal tersebut. Berbagai kritik muncul dari perspektif
feminisme memperlihatkan bagaimana media berperan dalam konstruksi peran perempuan
dalam masyarakat secara inherent bertolak belakang dengan semangat perjuangan
pembebasan perempuan, khususnya produksi film-film tertentu. Nah disini
perlu adanya kesadaran terhadap identitas perempuan dari film atau sinetron
tersebut.
Citra perempuan
yang ditampilkan di media masih mengandung unsur-unsur negatif dan
diskriminatif. Di beberapa sinetron, kita sering melihat sang tokoh utama (yang
diperankan oleh seorang perempuan) sering menjadi sosok yang lemah dan
teraniaya. Belum lagi dengan beberapa komedi situasi yang masih menampilkan
sosok seorang perempuan yang kerjaan utamanya hanya dandan tetapi bisa menjadi
sekretaris sebuah perusahaan. Sosok perempuan di televisi masih sering
dijadikan sebagai boneka untuk menarik minat lebih banyak penonton dengan
menampilkan adegan mesum.
Media masa dapat
menjadi reflektor dari ketidak adilan gender dalam masyarakat, karena
menampilkan kehidupan manusia faktual maupun fiksional. Komodifikasi perempuan
dapat terjadi di ruang publik, dari sini diangkat sebagai informasi media.
Komodifikasi perempuan berlangsung dengan menjadikan faktor tubuh perempuan
sebagai komoditi. Ini dapat berlangsung dalam interaksi sosial maupun mediasi.
Pada tataran interaksi sosial eksploitasi perempuan muncul dalam prostitusi.
Prostitusi (subjeknya disebut prostitut) perlu dibedakan dari kerja seksual
(oleh pekerja seksual). Dengan prostitusi kemanfaatn ekonomi yang diperoleh
oleh pihak yang berkuasa atas diri perempuan. Perempuan berada dalam sistem
tersebut secara sukarela atupun tidak. Sedang pada tataran mediasi dapat
dilihat sebagai pornografi. Pornografi dapat didefinisikan secara negatif,
yaitu cara atau tindakan seksual yang tidak mempunyai makna spiritual dan tidak
berdasarkan perasan halus. Tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan
keilmuan umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak
unutk tujuan estetika.
Erotika dalam
aktivitas kultural bisa juga disebut gengan ‘‘ erotic art“ merupakan istilah
untuk karya seni (tulisan,gambar atau
pertunjukan) yang menggambarkan seks secara eksplisit. Dengan adanya nilai yang
memiliki konteks artistik, erotika dibedakan dari pornografi. Sebaliknya unsur
tidak senonoh dalam karya seni dapat menjadikannya dipandang sebagai materi
pornografi. Secara sederhana sering erotika dipandang sebagai seni, sedangkan
pornografi sebagai produk komersial (comodity).
Proses komodifikasi yang
digerakkan oleh kapitalisme pada hakekatnya bersifat patriarki, secara
struktural dunia patriarki dari kapitalisme ini dapat saja digerakkan oleh
perempuan, karena lebih banyak germo yang‘‘mami‘‘ ketimbang ‚‘‘papi‘‘. Begitu
juga dunia periklanan yang banyak menjadikan fitur tubuh perempuan sebagai
komoditas banyak punya digerakkan oleh perempuan. Dengan kata lain, struktur
patriarkhi tidak perlu mempersoalkan siapa penggeraknya, tetapi yang penting
adalah bagaimana mesin kehidupan sosial itu bergerak[6].
Bagaimana peran
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap Pencitraan Perempuan di Media?
Bukan hal
yang asing lagi bahwa kaum perempuan sering menjadi objek utama media massa.
Jika kita melihat dari sisi filsafat, perempuan adalah makhluk humanis. Namun,
hal ini bukan berarti bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Sayangnya,
perempuan masih sering menjadi sosok yang termarjinalkan di dalam masyarakat.
Di media massa elektronik seperti televisi, sosok perempuan sering dijadikan
sebagai alat atau komoditas untuk meningkatkan rating sebuah acara. Hal ini
sangat memprihatinkan karena perempuan cenderung dilihat hanya dari sisi
keindahan biologisnya saja. Sehingga dapat dipastikan bahwa peran Komisi
Penyiaran Indonesia penting.
Komisi
Penyiaran Indonesia sudah berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Fungsi komisi ini
adalah sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Kedudukannya
pun setingkat dengan lembaga negara yang lain meskipun Komisi Penyiaran
Indonesia ini adalah sebuah lembaga independen. Secara garis besar, Kominis
Penyiaran Indonesia memiliki tugas untuk mengatur penyiaran yang
diselenggarakan oleh tidak hanya Lembaga Penyiaran Publik saja tetapi juga
Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Pada tahun 2012 ada 4
kasus penyiaran terbesar. Keempat kasus tersebut terjadi di televisi yang
dimiliki oleh tokoh nasional. Karena empat kasus besar tersebut, jumlah
pengaduan publik terhadap isi siaran televisi melonjak drastis dari tahun 2011
ke tahun 2012. Pada tahun 2011 hanya ada 2.857 jumlah pengaduan publik
sedangkan pada tahun 2012 ada 43.470 jumlah laporan pengaduan publik. Dengan
kata lain jumlah laporan naik sebesar 95% dari tahun 2011 ke tahun 2012.[7]
Program-program
televisi di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam pembentukan citra
perempuan. Komisi Penyiaran Indonesia tampaknya harus lebih banyak mengerahkan
energinya pada program-program televisi yang bermasalah. Program-program
televisi yang masih sering mengeksploitasi tubuh perempuan sudah saatnya
ditindak tegas. Masyarakat Indonesi membutuhkan lebih banyak program-program
televisi yang mengusung kualitas intelektul daripada sekadar mempertontonkan
tubuh perempuan. Ditambah lagi kontrol masyarakat untuk memilih program yang
bisa dan layak ditonton oleh keluarga khususnya anak-anak.
Peran
Komisi Penyiaran Indonesia dalam menjaga citra perempuan sangatlah penting.
Pihak televisi perlu diberi peringatan yang lebih tegas dalam menayangkan
program-programnya. Jika sebuah program televisi mengandung ketidaksetaraan
relasi gender serta menampilkan tubuh perempuan sebagai penarik perhatian atau
objek, makah hal itu bisa digolongkan dalam kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia
berbasis gender.[8]
PENUTUP
Demikianlah
perempuan dalam kajian media yang kian disorot sebagai objek media tersebut.
Kehadiran sosok perempuan dalam media tidak lain adalah untuk menarik perhatian
publik sehingga status perempuan disini tidak sesuai dengan posisi yang
seharusnya. Perempuan terkadang dipandang sebelah mata dalam media, dalam arti
keluar dari prosedur faktual. Perempuan dijadikan sebagai penglaris pasar
produksi.
Dari uraian di atas,
dipandang bahwa perempuan dalam media hingga saat ini masih belum mendapatkan
keadilan atau bisa dikatakan kesetaraan gender, perempuan juga berhak
mendapatkan hak-haknya dalam publik, media, politik, ekonomi tidak hanya kaum
pria saja yang menguasai semua hal tersebut. Dengan adanya komisi penyiaran
Indonesia, maka diharapkan semua bentuk tayangan di media dapat disaring dengan
sebaik-baiknya sehingga penayangan film, iklan dan lain sebagainya khususnya
yang berkaitan dengan perempuan. Dengan demikian akan terjadi harmonisasi
pandangan terhadap citra perempuan dalam masyarakat.
Daftar Pustaka
Siregar , Hetty, Menuju Dunia Baru : Komunikasi, Media, dan Gender,
Jakarta :Yakoma PGI, cet 1, 1999.
Muhammad Anas, Ja’far Qasim, mengembalikan hak-hak politik perempuan :
sebuah perspektif islam. Jakarta : azan. 2001.
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Penyiaran_Indonesia, diakses pada tanggal 8 Maret 201.
http://larassutedja.blogspot.com/2011/02/eksploitasi-perempuan-dalam-media-massa.html,diakses pada tanggal 8 Maret 2013.
Fita Fathurrokhmah, Makalah Jurnalistik Media Massa dan Public
Sphere.
http//potret
perempuan di media masa—yayan sakkti. Diakses pada tanggal 25 oktober 2013.
http://www.academia.edu/2624526/Membangun_Femininitas_Glokal_Transformasi_Kesadaran_dan_Negosiasi_Femininitas_dalam_Auto_Biografi_Yuni_Shara
Jurnal ilmu
sosial dan ilmu politik Ketidakadilan
konstruksi perempuan di film/ televisi . , volume 7, nomor 3, maret 2004
[1]Teringat
saat diadakan seminar oleh Ikatan Remaja Masjid Fathullah, pembicara Ust. Ali,
yang merupakan dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan tema “Peran
Perempuan dalam Membangun Negara ”
[2]
Fita Fathurrokhmah, Makalah Jurnalistik Media Massa dan Public Sphere.
[3]
Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru : Komunikasi, Media, dan Gender,
Jakarta : Yakoma PGI, 1999, cet I, h. 60
[4]http//potret
perempuan di media masa—yayan sakkti. Diakses pada tanggal 25 oktober 20013.
[5]http://www.academia.edu/2624526/Membangun_Femininitas_Glokal_Transformasi_Kesadaran_dan_Negosiasi_Femininitas_dalam_Auto_Biografi_Yuni_Shara
[6] Ketidakadilan
konstruksi perempuan di film/ televisi . Jurnal ilmu sosial dan ilmu
politik , volume 7, nomor 3, maret 2004. (335-350)
[8] http://mediadanperempuan.org/tag/pencitraan-perempuan-di-media/diakses pada tanggal 8 maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar