Kamis, 28 November 2013

Responding Papers Relasi Gender dalam Agama Hindu

Relasi Gender dalam Agama Hindu
Oleh: Nurjaman
  • Berdasarkan pada teks-teks Sansekerta yang memperlihatkan pengaruh dan bias Brahman, kemaskulinan dan tradisi India utara, perempuan dalam tradisi Hinduisme memiliki posisi yang tidak setara dengan laki-laki.[1]
  • Tergambar dalam kehidupan anak-anak ahli Weda. Ia hanya diajari beberapa himne dan detail ritual untuk mempersiapkan peranannya sebagai isteri. Seorang Ibu juga hanya akan melatih anak perempuannya untuk melakukan aktivitas domestik.
  •   Dalam hal pendidikan juga sama, sehingga akses laki-laki dan perempuan sangat senjang.
  •  Dalam kitab-kitab Brahman, perempuan diposisikan sebagai silent partner, kecuali dalam ritual kelahiran anak atau pemberkatan cucu.[2
  • Kendati Hinduisme menghargai perempuan sebagai ibu, namun perempuan secara umum terutama di abad pertama SM, seperti diposisikan sebagai kasta sudra, yang identik dengan kebodohandan kerendahan.

·                              Perempun dalam kitab suci umat Hindu:
Yatra naryastu p jyante
Ramante tarra dewatah
yatraitastu na p jyante
sarvastatra phalah kriyah
(Manawa Dharmasastra III.58)
Artinya: Dimana wanita dihormati disanalah para Dewa senang dan melimpahkan anugerahnya. Dimana wanita tidak dihormati tidak ada upacara suci apapun yang memberikan pahala mulia.
“Cocanti jamayo yatra Winacyatyacu tatkulam,
Na cocanti tu yatraita Wardhate tadddhi sarwada”.
Artinya: Dimana warga wanitanya hidup  dalam kesedihan, keluarga itu    akan cepat hancur, tetapi dimana wanita tidak menderita keluarga itu akan selalu bahagia.
  • Pada masa Weda (1500 SM- 600 SM) memberikan penghargaan yang baik terhadap feminitas maupun komplementaritas suami-istri, meskipun masih dalam struktur yang patriarki yang terdapat dalam konteks tradisi Indo-Eropa sebelumnya. Hal ini terlihat dalam perubahan istilah dampati  yang pada awalnya diartikan “tuan rumah” kemudian berubah menjadi “pasangan” suami-istri. (pada masa ini, anak perempuan dan gadis dipuji karena kecantikannya, wajah berseri karena berdandan dan lain sebagianya).
  •   Pada masa periode selanjunya, perempuan tak lain dianggap sebagai Makhluk nomor dua, hampir di seluruh  masyarakat India menginginkan anak laki-laki dan menyesalkan kelahiran anak perempuan. Sehingga karena hasrat yang besar ingin memiliki keturunan laki-laki para lelaki menikah 2, 3 sampai 4 kali karena ada pemahaman bahwa tidak akan masuk surga tanpa anak laki-laki.




[1] Umi Sumbula (Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang), Agama dan Keadilan Gender, h. 2.
[2] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar