Teori Feminis
Oleh: Nurjaman
Feminisme adalah sebuah fenomena
sosial. menurut Dr. Ratna Megawangi seorang feminis Indonesia, feminisme dalam
pengertian yang lebih luas adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang
dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan,
baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Dari sekian banyak teori yang digunakan untuk
mengetahui latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender, dapat
diklasifikasikan ke dalam beberapa teori berikut:
1. Teori
Psikoanalisa (Teori Identifikasi) yang menganggap bahwa perilaku dan
kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan
seksualitas. Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Sigmund Freud
(1856-1939) kemudian oleh Karen Horney. Di dalam pendapatnya mengenai
pembentukan kepribadian antara Freud dan Horney menekankan pada faktor anatomi
biologis. Bedanya, Freud menitikberatkan pada faktor penis dan semata-mata pada
faktor biologis sedangkan Horney pada faktor rahim dan tidak mengecualikan
faktor kultur dalam pembentukan kepribadian.
2. Teori
fungsionalis struktural, yang menganggap bahwa stratifikasi peran gender dalam
masyarakat tersebut terintegrasi dalam sistem sosial. Teori ini berangkat dari
asumsi bahwa masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
R. Dahrendolf meringkaskan prinsip-prinsip teori ini yaitu:
a. Masyarakat adalah kesatuan dari berbagai
bagian;
b. Sistem sosial senantiasa terpelihara karena
mempunyai perangkat mekanisme kontrol;
c. Bagian
yang tidak berfungsi dapat dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga
dalam waktu yang lama;
d. Perubahan
terjadi secara berangsur-angsur;
e. Sistem
nilai adalah bagian yang paling stabil dalam sistem masyarakat.
3. Teori
konflik, yaitu teori yang lebih menekankan pada pembagian kelas, sebagian
diuntungkan dan sebagian dirugikan. Dasar ekonomi yang tidak adil memicu
terjadinya konflik dan perubahan sosial. Karena terlalu berorientasi ekonomi
dan menafikan semua faktor biologis, maka timbullah subordinasi perempuan.
4. Teori
feminis, teori ini menganggap bahwa kodrat perempuan tidak ditentukan oleh
faktor biologis melainkan faktor budaya masyarakat. Oleh karena itu, sistem
patriarkhi perlu ditinjau karena merugikan perempuan. Kemitrasejajaran laki-laki
dan perempuan diusulkan sebagai ideologi dalam tata dunia baru.
5. Teori
sosio–biologis, teori yang menggabungkan faktor biologis dan faktor sosial
menyebabkan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Fungsi reproduksi
perempuan dianggap sebagai faktor penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan
peran laki-laki.
Persoalan mengenai mengapa kaum perempuan mengalami
ketertindasan dan ketidakadilan, hal ini telah memunculkan berbagai aliran
dalam feminisme.
Pertama,
Feminisme Sosialis. Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan di Rusia dengan
menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa
Luxemburg (1871-1919). Ideologi Marx-Engels telah dilakukan oleh feminis yang
berorientasi sosialisme. Feminisme sosialis adalah gerakan yang berusaha
membebaskan perempuan dengan cara melalui perubahan struktur patriarkat.
Tujuannya agar kesetaraan gender dapat terwujud. Perwujudan kesetaraan gender
adalah salah satu syarat penting dalam
menciptakan
masyarakat tanpa kelas, egaliter, atau tanpa hierarki horizontal. Feminis
sosial melihat kedudukan kaum perempuan identik dengan kaum proletar pada
masyarakat kapitalis Barat. Menurut feminis sosialis, mencari akar permasalahan
dari perempuan identik dengan proletar dianggap penting. Di situ ia mengaitkan
dominasi laki-laki dengan proses kapitalisme.
Kedua, Feminisme
Radikal. Aliran ini berkembang pesat di AS pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Aliran ini berpendapat bahwa, ketidakadilan gender bersumber dari
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Mereka melihat adanya
struktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarkis berdasarkan jenis
kelamin. Laki-laki sebagai suatu kelompok sosial mendominasi kaum perempuan
sebagai kategori sosial yang lain. Kaum feminis radikal menanggapi dua konsep
yang dianggap penting yaitu, patriarkhi dan seksualitas. Kaum feminis radikal
mengacu ke aspek sistemik dari subordinasi perempuan sebagai akibat adanya
patriarkhi. Kaum feminis radikal menganggap setiap laki-laki pasti negatif dan
menindas, karenanya perlu dijauhi. Antipati terhadap makhluk laki-laki membuat
mereka ingin memisahkan diri dari budaya maskulin dan membentuk budaya
kelompoknya sendiri.
Ketiga, Feminisme
Liberal. Aliran ini berkembang di Barat pada abad ke-18 dengan menampilkan
beberapa tokohnya, seperti Margaret Fuller (1810-1850), Harriet Martineu
(1902-1876), Angelina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906).
Menurut feminis liberal bahwa setiap laki-laki maupun perempuan mempunyai hak
mengembangkan kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal, tidak ada lembaga
atau individu yang membatasi hak itu, sedangkan negara diharapkan hanya untuk
menjamin agar hak tersebut terlaksana. Diskriminasi seksual hanyalah
pelanggaran hak asasi. Menurutnya untuk mencapai tujuan itu ada dua cara, yaitu:
a). Dengan pendekatan psikologis yang membangkitkan kesadaran individu, antara
lain melalui diskusi-diskusi yang membicarakan pengalaman-pengalaman perempuan
pada masyarakat yang dikuasai laki-laki. b). Dengan menuntut
pembaruan-pembaruan hukum yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum
menjadi peraturan-peraturan baru yang memperlakukan perempuan setara dengan
laki-laki. Oleh karena itu, feminisme liberal memfokuskan perjuangan pada
perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan
institusi keluarga yang patriarki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar